Sunday, August 08, 2010

ok, lupakan saja.
kenapa tak juga belajar dari rasa sakit yang lalu2 sih?
are u a kind of masochist or something?
suka banget mengiris2 hati sendiri.. :p

Saturday, March 06, 2010

setelah email kegagalan yang bertubi-tubi dari australia, amerika, kanada, apalagi?

Thursday, January 07, 2010

frighten

entah bagaimana caranya memompa kembali semangat yang merambat turun.
seperti kesetanan aku telah apply beasiswa kemana-kemana akhir tahun lalu. semata untuk mewujudkan keinginan-tak-lagi-bisa-ditundaku untuk segera hengkang dari negeri durjana ini.

tapi tak ku terima tanda-tanda akan adanya kabar baik. hingga hari ini.
yang ada cuma cerita murung.

tak ada panggilan interview untuk aplikasi australia ku. padahal aku sempat membayangkan dan telah menghitung2 rencana tetirah itu (bahkan sudah bersiap untuk menulis apa di status fb ku nanti. ampun deh! :p).

kecewa? pertanyaan bodoh. tentu saja. seperti rasa ngenes saat tak lolos chevening beberapa tahun lalu. atau bahkan aplikasi australia ku tahun-tahun sebelumnya.

lalu, surat ku pada monseur remy juga belum ada jawaban. ia salah satu cara yang aku harap bisa memuluskan jalan ku hijrah ke paris. sementara aku makin mengkerut belajar bahasa perancis. bebal. dungu.

aku pesimis. mimpi-mimpi untuk segera pergi terlihat sulit untuk ku raih.

aku takut setengah mati.

rasanya bisa benar-benar gila bila aku tetap terus di sini.

Thursday, December 31, 2009

i was starting my year with going abroad last year. i keen i can do the same for this new year. just go. never turn back instead.

Friday, May 29, 2009

Bude

Dia sudah pergi, Mas. Aku tak sempat menyaksikannya. Ada ibu yang menemani. Sama seperti kepergianmu yang hanya ku tahu lewat kabar yang disampaikan ibu padaku.

Semoga kalian bertemu dan bahagia bersama. Ini kan yang kalian inginkan juga? Keinginan orang-orang lainnya juga. Termasuk aku.

Kau tau sejak kepergianmu ia bagai sebatang pohon tanpa akar. Hidupnya kosong. Sebenarnya tak hanya ia. Aku pun begitu. Kau tahu aku mulai merasakan hal-hal aneh sejak kita menjadi lebih dekat lebih dari biasa. Tiba-tiba aku jadi mengangenkanmu. Selalu menanti dengan cemas saat-saat bisa bersama denganmu. Ku rasa ibu mulai mencium gelagat ini. Menasehatiku untuk mencoba rasional. Bahwa kita masih kerabat dekat.

Tiba-tiba kau pergi tanpa pamit. Aku tau kau sedang marah dan butuh waktu untuk sendiri. Namun sampai saat ini pun aku tak pernah bisa mengerti. Terkadang bahkan menyesali. Mengapa jalan seperti itu yang kau pilih. Bergabung dengan kelompok yang kau bilang sanggup mengisi kekosongan batin mu.

Kau tak pernah mendiskusikannya padaku. Hingga tak sempat aku cegah keinginan ganjilmu itu. Terus terang aku tak suka dengan kelompok yang kau bangga-bangga kan itu. Tapi aku tak sempat mencegahnya. Sampai kau kembali dengan tubuh kaku. Dan mereka mengatakan kau telah mati syahid.

***
Aku tak terlalu sering mengunjunginya, Mas. Aku banyak bepergian. Sejak kepergianmu ku coba untuk mengisi hidupku dengan beragam aktifitas. Aku tak ingin terus memikirkan mu. Menyesalkanmu.

Terakhir aku mengunjunginya saat lebaran lalu. Ia makin kurus. “Rambut ku rontok tak karuan,” katanya sambil merapikan tutup kepala. Berulang kali ia masuk rumah sakit. Dengan sakit yang tak jelas. “Sakit batin,” kata ibu.

Aku hanya bisa menangis dalam hati. Airmataku telah habis saat menangisi tanah basah yang menyimpan tubuh kakumu.

Aku tak pernah bisa membayangkan rasa hampa yang harus dijalaninya. Kau lah harapan satu-satunya. Laki-laki kebanggaannya. Setelah laki-laki pendamping hidupnya mengkhianatinya sekian lama. Menghasilkan seorang anak laki-laki yang usianya tak jauh terpaut dengan mu.

Aku tau kau pun begitu menyayanginya. Kau tau sampai saat ini pun aku tak sanggup berdiam lama berada di kamar mu. Kamar yang penuh dengan coretan kemarahanmu pada laki-laki busuk yang dengan teganya menculasi kalian. Laki-laki yang darahnya mengalir pada tubuhmu.

Ya, coretan-coretan mu masih ada, Mas. Bude tak ingin menghapusnya. Beberapa larik puitis yang mengungkapkan kasih sayang, rasa hormat sekaligus bangga mu pada satu-satunya perempuan yang telah melahirkan mu bercampur baur dengan umpatan kemarahan pada laki-laki durjana itu.

***
“Coba aku di foto. Masih ayu nggak,” itu permintaan yang aku ingat dari kunjungan terakhir ku. Ia merapikan rambut tipisnya.

“Aku wis kayak wong mati,” katanya saat aku perlihatkan hasil foto pada layar kamera. Aku tak membalas perkataannya.

Ia terbukti perempuan yang tangguh. Ia mampu menghadapi rasa hampa dalam hidupnya bertahun-tahun setelah kepergian mu, Mas. Setia pada rumah yang sebentar lagi mungkin akan diambil perempuan lain yang telah menghancurkan hidup kalian.

Tak seperti aku yang terus berusaha lari dari kenangan yang pernah kita lalui, Mas. Meski ia juga harus mengaku kalah pada beberapa penyakit yang tiba-tiba saja menjadi bagian dari hidupnya.

“Nduk, Bude masuk rumah sakit lagi. Pulanglah. Sempatkan untuk menjenguknya,” layang ibu pada pesan pendek yang masuk pada teleponku.

Aku tak mengiyakan permintaannya. Aku tak sanggup melihat tubuh rentanya, Mas. Tak mampu lagi menumpahkan airmata untuk kalian.

Kucari-cari alasan bahwa aku tak bisa pulang. Aku tak tahu apakah ibu bisa mengerti dengan alasan ku. “Kalau tak bisa pulang tak apa. Tolong bacakan Yasin untuk Bude mu.” Hanya itu balasan ibu atas alasan ku.

Apakah kau bisa mengerti, Mas? Aku tak ingin kembali rapuh dengan mengingat kalian. Aku percaya kalian telah berkumpul kembali saat ini. Merasakan kebahagiaan abadi setelah sempat dihempaskan alam fana ini.

Jakarta, akhir Oktober 2008
Untuk Bude Temok dan Mas Totok dalam kehidupan yang abadi

Saturday, April 25, 2009

alex from france

his name is alex.
from france.

Sunday, April 19, 2009

funckin' bloody night

he's coming again.
tonight.
bit late.
new appearance.
more tidy.
new necklace.
perfume.
looks beautiful.
make me hot.

but we cant make it tonight.
i told him.
i'm in bloody.
but he didn't care.
keep me up.

we cant do it right now.
i told him.
again.
he stil didn't care.
keep flatter me.
and we did it.
with his way.

i never did it.
i said to him.
i'm afraid.
i'll do it slowly.
he pushed me.
he looked beautiful.
made me surrender.

but he always in rush.
packed up immediately.
can we talk?
i begged him.

i have to go.
he's hurry.
as always.
dont know will back.

i cant deter him.
again.
he left.
dont know will back.

fuckin' bloody night.

Friday, April 17, 2009

freaky saturday

one night before, i was on deep pray just unlike usual. then he came like a gift. unexpected but made me up. i was flying. so high. and i start to expecting him.

but i have to realize that he may only for that day. no more. because he never come again. ruin all of my dream. leave me in deep hollow. even i tried to ask him. put my dignity off.

please come. i still miss you (stranger)...

but he just like a wind. blew somewhere. and i just became one stop just before he run away. did i disorder my pray?

Wednesday, March 25, 2009

i wish i could be in love. but here, they're so chill...

Wednesday, August 27, 2008

jogja (for the umpteenth)

i've tried to compromised with my destiny this moment. come to jogja just for meeting. not for travelling or leasuring time. and this loneliness will kill me. i even dont know what i stand for.
his remains ghost me and i still fall my tears down.

Laki-laki Beranonim

Ia mampu menghapus kekhawatiran ku untuk berhati-hati dengan orang yang baru dikenal.
Menjadi teman dalam perjalanan yang melelahkan sepanjang jogja-jakarta yang bising.
Menunjukkan dirinya bukan lelaki genit yang siap ambil kesempatan dalam kesempitan.
Bersikap dengan gentleman dan santun. Bahkan tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia seorang perokok.

Dan aku mulai jatuh hati dalam waktu yang singkat itu. Namun ia tak menunjukkan ketertarikan yang lebih. Kami bahkan berpisah tanpa pamit. Membuat aku masygul. Tidak cukup menarikkah aku? Terlalu angkuhkah aku untuk direngkuh? Terlalu tinggi kah aku menempatkan posisiku?

Untuk mengobati luka aku coba menghibur diri. Mungkin ia memang lelaki baik-baik yang tak ingin mencari mencari peruntungan dan merusak hubungannya dengan seseorang yang telah lebih dulu dibina (sebuah status yang tak pernah berani aku tanyakan sepanjang obrolan kami malam itu). Mungkin pula ia memang tak memiliki ketertarikan pada perempuan (sebuah fenomena yang makin lazim ditemui saat ini dan membuat aku kerap berpandang curiga melihat dua orang laki-laki (muda) berjalan beriringan). Bila benar adanya, beruntunglah aku tak terperosok dalam kisah cinta gombal jilid dua. (meski rasa sesal itu tak jua dengan mudahnya sirna. Akankah ada kesempatan berikutnya?)

Dan aku kembali pulang dalam rasa sunyi sambil menanti P17 tiba. dalam suara panggilan subuh dan godaan usil para sopir yang mencari peruntungan. here i am. in the city with loveless...

Monday, May 12, 2008

Talk too fast

Entah telah berapa banyak yang bilang, aku kalau bicara terlalu cepat. Aku sendiri menyadari itu. Tapi untuk merubahnya kok ya tak semudah membalik telapak tangan (meski untuk penderita strok, hal yang terakhir ini bisa jadi sulit juga dilakukan). Setidaknya sebelum memulai pembicaraan atau menjadi pembicara, aku sudah memperingatkan diriku sendiri. Please be calm. Bicaralah dengan runut. Dengan intonasi yang enak diikuti dan didengar telinga (dalam hal ini aku terkagum-kagum dengan gaya bicara Pius Rengka, politisi gaek asal Manggarai, NTT atau Asmara Nababan, bos ku sendiri. Juga Hadar Gumay, orang nomor satu CETRO saat ini).

Tapi warning dari diri sendiri itu terbukti seringkali tak berfungsi. Atau berjalan. Aku sering di luar kendali diriku sendiri. Saat berbicara maunya cepat sampai. Sering tak sistematis. Otot mulut tampak sibuk berkejaran dengan pikiran yang ada di kepala. Sudah bisa diduga pula kerugian yang akan menimpa ku. Performance yang buruk, publik yang tak interest, dan aku sering tersesat sendiri. Lebih karena aku seringkali tak tau juga apa yang ingin aku sampaikan.

Mungkinkah aku perlu ikut kursus public speaking atau sejenis itu?

Monday, April 14, 2008

10 April

Rasanya agak aneh ketika bertemu orang yang mempunyai tanggal lahir yang sama dengan diri sendiri. Padahal ini bagian dari kebetulan yang biasa terjadi. Dalam satu hari puluhan, ratusan dan mungkin jutaan bayi lahir (mungkinkah mencapai angka jutaan? Entahlah). Dan mereka akan memiliki tanggal lahir yang sama. Tahun yang sama. Meski, kemungkinan untuk bertemu satu sama lain (di luar kenyataan bagi para bayi-bayi kembar tentu saja) mungkin hanya sepersekian kali (aku kesulitan mendapat gambaran yang tepat untuk mengatakan bahwa kemungkinan itu bisa jadi sangat, sangat tipis adanya). Kesempatan ini mungkin yang kemudian menjadi momen yang luar biasa bagi orang-orang yang secara kebetulan bertemu dan mendapatkan tanggal lahir yang sama. Apalagi tahun yang sama. Ini bisa jadi membawa efek psikologis yang luar biasa. Merasa surpraise. Mungkin juga istimewa.

Aku belum pernah mengalami momen ini. Bertemu dengan orang yang memiliki tanggal lahir dan tahun yang sama. Tapi perasaan yang luar biasa itu cukup termampiri saat aku bertemu orang yang memiliki tanggal lahir yang sama dengan tahun yang berbeda tanpa pernah aku duga sebelumnya. Perasaan itu tentu saja pada akhirnya tidak memberi efek apapun di kemudian hari. Kecuali menjadi penanda yang mungkin agak sulit dilupakan.

Maka, selain berucap selamat ulang tahun bagi diri sendiri pada tanggal 10 April ini ucapan yang sama berlaku pula untuk Nurhalis Majid, laki-laki asal Banjarmasin yang aku kenal lewat jaringan kerja sejak tahun 2003 namun baru kudapati bahwa kami memiliki tanggal lahir yang sama pada detik terakhir pertemuan acara kami di Hotel Niko selang dua hari dari tanggal istimewa kami tahun lalu.

Lalu ada Salsabila Rihadatul Aisyah. Ponakan kecil dari adikku yang cerewet luar biasa. Dia lahir 10 April tiga tahun yang lalu tengah malam dengan operasi cesar. Aku tak turut menyaksikan proses kelahirannya.

Setelah itu ada pula Fauzi Bowo, Gubernur DKI terpilih saat ini yang diusung oleh partai-partai besar (sangat disayangkan nyata bahwa ia memilih dari kalangan militer sebagai wakil yang mendampinginya saat ini. Mungkin ada hitung-hitungan taktis bagi dirinya. Tapi tetap saja aku merasa dia bukan figure “yang gue banget”).

Juga Bayu Sutiyono, presenter berita di SCTV (aku tak tau apakah masih? Mengingat makin jarang ku temui wajahnya di layer SCTV saat ini).

Yang juga cukup mengejutkan adalah saat membaca CV Ade Indriani Zuchri, jaringan asal Palembang yang sempat aku kenal saat pertemuan di Jambi entah dua atau tiga tahun yang lalu. Penampilannya cukup charming dan energik. Menarik perhatian aku sendiri untuk menjadikannya sebagai key informan riset kami tahun ini. Meski kabarnya ia penuh kontroversi (beberapa kasus keuangan dikabarkan sempat menjadi masalah yang perlu dihati-hati saat berurusan dengannya). Toh akhirnya ia berhasil melampaui segala sikap skeptis yang sempat dilekatkan padanya. Meski mungkin untuk sementara. Dan usianya persis hanya terpaut setahun lebih tua dari aku.

Untuk dunia selebritis, dua artis yang aku tau punya tanggal lahir yang sama dengan aku adalah Meriam Bellina (dengan peran yang suka marah-marah melulu di sejumlah sinetron) dan Mandy Moore, artis muda seangkatan Britney Spears dan Christina Aquillera yang rasa-rasanya tak terlalu moncer karirnya di Hollywood (tapi aku suka dengan actingnya sebagai Molly di "Because I Said So", akting yang jauh lebih menarik dibanding aksi Britney di "Crossroad" yang sangat sangat memble...)

Gone #3

Aku buka account emailnya. Account email yang pernah aku buatkan untuknya. Dan kembali tak bisa kubendung air mata. Ia, entah kapan persisnya, aku menduganya belum lama ini, telah mengajak –gosh aku tak sanggup melanjutkan kata-kata ini………

So they went to Johor. The place he had promised me to invite. Then he never invites me to come. Never…

Aku remuk. Redam. Gosh, I really want to die. It's over when it's over. But I still can't figure it out. Just take me out from this bastard... Please.. please.. I'm dying...

Gone #2

Kemarin malam aku mimpi buang hajat (agak keras dan seingat ku sampai dua kali). Aku nyaris percaya takwil mimpi tentang ini. Orang bilang kita akan kehilangan sesuatu. Aku percaya kehilangan itu lebih berbentuk materi. Sedikit khawatir mengingat aku tengah tak siap kehilangan uang saat ini. Rasa khawatir yang segera aku tepis dengan doa, Tuhanku jangan kau tambah lagi rasa pahit hidup ku saat ini dengan kehilangan yang aku miliki.

Lalu di malam dengan gerimis yang masih sering turun si bluesman itu datang (aku pernah bilang dia laki-laki penuh kejutan kan?) Dengan mobil yang tak aku ingat persis. Honda city mungkin. Dan supir perempuan urban yang diakuinya sebagai ceweknya. Rupanya ia datang untuk mengangkut barang yang entah berapa bulan teronggok di kamar ku. Oh, baiklah. Tak masalah. Dalam hati aku berharap mudah-mudahan inilah kehilangan yang harus impikan malam sebelumnya. Dan karena aku tak ingin menjadikannya sebagai kisah romanku maka aku putuskan kisah tentang laki-laki ini sebaiknya tutup buku saja.

Gone

Terus terang aku kecewa saat tau aku tak lolos chevening award yang sudah aku lamar sedari tahun lalu. Ini harapan besar ku untuk melanjutkan hidup. Aku tak punya keinginan apa-apa lagi. Kecuali meninggalkan segala kehidupan yang saat ini makin ku rasakan begitu penat (aku pernah bilang tak ingin menghabiskan hidupku dengan rutinitas yang telah kujalani selama ini kan?).

Tahun ini aku akan 31 tahun. Masih single (aku masih suka menangis mengingat ketololanku berharap pada laki-laki tak bisa dipercaya itu). Dan begitu bosan dengan pekerjaan ku sekarang (minggu-minggu ini aku kembali bertengkar dengan teman kantor yang membuat aku makin merasa tak betah. Kau tau, saat aku mengancam untuk quit, dia malah menantangku untuk segera mengambil keputusan itu. Gila!).

Telah lima tahun aku di Demos. Dengan penghasilan dan perkembangan karir yang aku rasa berjalan seperti keong. Aku ingin melepaskan semuanya. Dan chevening menjadi tiket andalan ku. Namun semua musnah. Aku tak tau lagi bagaimana melanjutkan hidup (aku telah tamat membaca lascar pelangi-nya andrea hirata yang kabarnya mampu membangkitkan semangat hidup. Tak juga kudapatkan kobaran semangat itu. Yang ada malah makin jealous dengan kesempatannya bisa melanglang buana).

Mengingat itu semua membangkitkan keinginan lama ku untuk segera mati saja. But how? Aku takut pada percobaan yang gagal. Aku ingin mati. Tapi tak ingin merasakan sakitnya. Keinginan yang mengingatkan aku pada aksi Zang Ziyi saat meluncur dengan indah dari gunung demi mendapatkan keinginan abadinya dalam “Crouching Tiger Hidden Dragon”.
Bisakah kita seperti itu?

Wednesday, December 19, 2007

Catatan (menjelang) Tahun Baru

Sms lumayan panjang yang dikirim Elis, temanku yang kenes dan modis juga mahir berbahasa Inggris, pagi ini menggugah niatan ku untuk nulis ini.

Daam bahasa Inggris yang sudah aku bilang telah menjadi kemahirannya, dia berkisah tentang kesyukurannya pada anugerah 2007 yang dikecapnya lewat; terselesaikannya program master of english linguistics di unika atmajaya-nya yang sempat tertunda beberapa tahun, kesuksesan pindah ngantor-nya ke TNC (kantor international yang pastinya bikin gayanya makin mentereng. dia juga sempet singgung soal kesepakatan perubahan iklim di Bali kemarin), perjuangannya untuk tetap mempertahankan perkawinannya yang telah menghasilkan seorang putri 'ndut dan imut berumur 6 tahun (aku jarang bertemu dengannya. berita yang dikelompokkan olehnya sebagai berita baik ini tentu dapat dipastikan juga lewat perjuangan darah dan air mata ;-)), dan.... kesempatan pertamanya menjejak kaki di tanah Paman Syam.

kau pasti tau, apa yang menggugah seleraku untuk menulis. tentu kalimat terakhir itulah. bukan kesuksesan studinya (yang meski pernah aku tanyakan secara basa-basi barang satu dua kali) atau kesuksesannya berumah tangga (meski, aku bisa tegaskan sekali lagi lewat perjuangan yang disertai dengan darah dan air mata ;-)).
hm..., akhirnya berhasil juga dia menambah cap di buku pasportnya. sementara aku...

sebelum membahas lebih jauh soal itu, otakku melayang-layang ke bilik lain. mungkin juga tahun 2007 ini menjadi anugrah bagi banyak orang. aku ingat sms yang tiba-tiba dilayangkan Kokom, perempuan yang aku kenal karena sama-sama menjadi pasien di rumah sakit Mitra Jatinegara beberapa tahun lalu (rumah sakit yang bikin aku kapok karena mahalnya). meski, ia sempat menagabarkan berita duka karena dirinya yang kembali terserang tifus (penyakit yang sumpah mati juga tak ingin aku idap lagi) ia mengabarkan berita gembira yang tak aku duga. ia telah mimiliki seorang anak laki-laki berumur satu tahun. anak yang sudah sangat didambanya karena usia perkawiannya yang telah memasuki belasan.

kami tak pernah bertemu lagi setelah masing-masing dinyatakan sembuh dari rumah sakit. tapi kabar dimilikinya anak berumur satu tahun mengingatkan aku paling tidak usia pertemuan kami telah lewat dari dua tahun. dan, lahirnya Farel, nama anak laki-lakinya itu, pasti tak terjadi dalam tahun 2007 ini. meski begitu, aku bisa berkukuh bahwa anugerah itu telah dicecapnya pada tahun 2007 ini. setidaknya lewat kabar yang aku terima lewat sms-nya di akhir tahun ini.

Dan... anugerah terindah tahun 2007 mungkin akan menjadi milik Yus, teman yang juga aku kenal secara tak senagja lewat keaktifannya menjadi panitia kursus jurnalisme sastrawi-nya Pantau. Ia seumuran kakakku. Gerapyak, kata orang Jawa. gampang akrab dengan orang. meski kadang punya ide-ide aneh (dia pernah mengajakku shalat tengah malam di mesjid istiqlal pada hari jadinya dan berniat mejadi bos odong-odong di kampungnya di makassar sana, yang entah berhasil dijalankannya atau tidak).

Tanggal 24 Des besok pasti akan menjadi tanggal bersejarah bagi Yus karena ia akan resmi menjadi nyonya Tiyo, laki-laki yang hanya aku tau lewat foto dalam kertas undangan yang dikirimnya lewat celah pintu kamarku. fotonya sih lumayan keren. dengan usia yang pernah diakuinya secara malu-malu lebih muda usianya dari dirinya sendiri. aku telah membayangkan rona bahagia itu. ah, akhirnya.... ia akan mengutip syair Barbara Straissand. Finally, i found some one... kalimat yang pastinya juga menjadi bagian dari pencarian dalam hidup ku.

lalu bagaimana dengan aku?
aku sendiri tak yakin 2007 adalah tahun anugerah dalam hidup ku. aku masih di sini. dengan keruwetan hidup peninggalan masa lalu. beberapa perubahan terjadi. yang aku anggap tak terlalu signifikan (mengingatkan aku pada label hidup tak bahagia yang kerap diberikan the blues man pada ku. btw, kau sudah kenal orang ini kan?).

mungkin juga aku orang yang sinis pada hidup ku sendiri. tak pandai bersyukur. seperti yang sudah aku bilang, perubahan terjadi. sedikit. yang aku ingat saat ini bahwa aku tak lagi terlalu termehek-mehek pada kisah romanku. meski kadang rasa perih mengoyak perasaanku.

yang menjadi fokus utama ku saat ini dan kerap menimbulkan rasa cemburu luar biasa adalah, bagaimana caranya aku mencecap hidup di luar negeriku sendiri. betapa inginnya aku menjelajah ke luar negara ini. negara yang kadang bikin aku muak. aku ingin melihat dunia lain. merasakan rasa lain yang telah dirasakan banyak teman ku di negara lain. merasakan kebebasan yang mungkin tak kita temui di negara kita sendiri. selain menjadi semakin mahir dalam berbahasa asing (sebuah kemampuan yang sungguh sering membuat aku merasa putus asa sangking bebalnya). dan bukannya tetap berdiam diri di sini. sementara orang telah menambah panjang daftar riwayat hidupnya dengan bepergian ke Eropa, Amerika, Australia, bahkan pelosok Afrika (yang entah mengapa semua nama benua ini berakhiran vokal sama).

Jadi, kalaupun kau bertanya, kapan? aku berharap pertanyaan itu bukan pertanyaan sama yang diajukan pada Ringgo Agus yang bisa dijawab dengan jawaban yang sesungguhnya mudah ditebak. May.

Bertanyalah padaku, jadi kapan... menjadi manusia global?
karena aku tak ingin menghabiskan sisa umurku hanya di sini...

Friday, November 16, 2007

Jakarta Basah

Lama tak ngeblog. Tak mood. Tak ada ide. Sementara ribuan blog tercipta dengan bagusnya. Aku sering berapologi, mungkin bila aku bisa dengan mudahnya konek ke internet, tanpa batas dan halangan, akan makin rajin nulis. Mungkin juga tidak. You know who am I. sukanya ngayal yang tinggi-tinggi. Ngarep yang gak-gak.

Back to me again. Puluhan peristiwa berseliweran sementara aku vakum. Ada kisah roman, melodrama, sedikit ketegangan, kesenangan, dan rasa bosan yang masih betah bertahan. Aku akan tulis yang aku ingat saja. Mulai dari yang paling dekat.

Sudah beberapa hari ini Jakarta basah. Hujan berhari-hari. Gangguan rutin terjadi. Macet. Pohon tumbang. Banjir. Aku tak merasakan langsung semua gangguan itu. Aku sibuk menginstall laptop ku dengan game-game baru kemarin. Mencobanya satu per satu sampai mataku menyerah. Menyelesaikan tulisan tentang "Benteng Keraton Buton" yang aku harap bisa dimuat Kompas. Kalaupun tidak, ingin aku lempar ke National Geographic versi Indonesia. Meski mungkin agak berat. Menetapkan niat untuk kursus renang meski hari ini, lagi, niatan itu kembali batal. Setidaknya aku sudah berusaha. Terdampar sampai Jatinegara dan memutuskan kembali karena tak kunjung mendapat angkutan ke tempat kursus. Di Jatinegara otak ku berfikir cepat. Kemana harus menghabiskan hari. Aku putuskan untuk nonton “lions for lambs” di Megaria. Ini film serius. Beberapa dialog aku lewati. Entah tak mengerti atau tak konsentrasi. Aku ingat acara nonton dengan “the bluesman” yang sebentar lagi akan aku rinci. Lalu pulang dalam rinai gerimis yang kadang turun dengan serius. Jakarta basah.

Aku ingat pertemuan terakhirku dengan “sang kelana”. 3 September 2007. Di Novotel Mangga Dua. Aku ingat karena aku melingkari tanggal itu di kalender dindingku. Firasat akan pertemuan terakhir. It would be. Sudah dua bulan lebih dan tak ada tanda-tanda kegairahan darinya. Sementara aku makin menikmati kesedirianku. Tak sepenuhnya sendiri. Beberapa kali aku habiskan bersama “the bluesman” yang –seperti aku sudah bilang—akan aku rinci nanti. But let me finish it first dengan “sang kelana”.

Setelah tanggal 3 September itu ia ada sekali kontak aku. Lewat sebuah sms. Bukan telepon (sebuah tindakan yang sesungguhnya aku tunggu). Beberapa hari menjelang lebaran. Ia ingin aku menemuinya di Red Top. Aku acuhkan smsnya. Berharap ia melakukan lebih dari itu. Tapi ia tak pernah telepon. Menanyakan keacuhanku.

Sebuah sms kembali dikirimnya di hari lebaran. Sms basa-basi. Mengucap selamat lebaran dan mohon maaf lahir batin (ia biasa menggunakan kata “zahir batin”). Kembali aku acuhkan. Tak aku balas. Dan telepon itu tak pernah dilakukannya. Hingga kini. Dan aku mulai terbiasa untuk memupus segala harapan. Meski sesekali aku menyebut namanya. Saat merasa rindu. Tak lebih. Karena ini kisah roman. Sementara Jakarta basah.

Lalu ijinkan aku berkisah tentang “the bluesman”. Sedikit saja. Karena aku pernah secara khusus menulis tentangnya. Tapi aku hapus. Karena aku tak ingin menjadikannya kisah romanku. Aku malu mengakuinya.

Aku mengenalnya lewat reunian setelah acara hunting kami di Pulau Untung Jawa (akhirnya kutemui juga teman yang adalah seorang fotografer). Usianya setahun lebih muda dari aku. Kadang aku menikmati hari-hari yang aku habiskan bersamanya. Keliling Jakarta tengah malam hingga pagi menjelang. Atau nonton dvd bajakan secara marathon di kamarku yang disulap menjadi bioskop tanpa sound system yang memadai. Ia penuh kejutan. Meski bukan sepenuhnya tipe ku (aku masih sering membandingkannya dengan “sang kelana”). Sama halnya aku yang tak masuk dalam kategori sebagai “his girl”. Tapi seperti aku bilang, aku menikmati hari-hari yang dihabiskan bersamanya. Kerap merasa kehilangan saat ia tiba-tiba menghilang tanpa kabar (hal sama yang sering dilakukan “sang kelana”. Apakah ini memang kebiasaan laki-laki?). Merasa “cemburu” saat ia menelpon perempuan yang suatu saat diakunya sebagai mantan pacar namun kali lain dibanggakannya sebagai perempuan yang istimewa (aku sempat mengintip rekaman gambar seorang gadis manis bertubuh lencir bersuara merdu miliknya).

Aku tak ingin memupuk harapan. Tak ingin kembali masuk sebagai cinta kedua. Tak ingin terlena. Meski setan kadang menggoda. Sampai pecah perang dingin itu. Ia merasa tersinggung dengan kata-kata tak terkendaliku dalam sebuah balasan sms. Aku sendiri tengah merasa mangkel. Lebih dengan perasaanku sendiri. Aku tak ingin jatuh cinta dengannya. Meski setan makin sering menggoda. Tak tau malu. Ia benar-benar menghilang. Meski masih banyak barangnya yang tersisa di kamarku. Ini bukan kisah roman. Setidaknya aku menginginkannya begitu. Sementara Jakarta basah.

Di luar itu aku ingin menulis tentang kesuksesanku membeli sepeda. Polygon dengan warna yang cantik. 1,3 juta rupiah. Sebuah benda yang sesungguhnya bisa memicu ingatanku pada “the bluesman”. Mengingat kecintaannya pada sepeda dan selalu meracuniku untuk membelinya. Aku masih gugup mengendarainya. Minggu pagi lalu dalam uji coba pertamaku seorang bocah sukses menjadi korban kegugupanku.

Masih soal kendaraan, hasil patungan aku dan ibuku, kami akhirnya berhasil memiliki sebuah kijang second. 36 juta. Aku tak ingat persis spesifikasinya. Secara fisik aku anggap lumayan. Memacu gairahku untuk bisa nyetir. Entah kapan. Banyak peristiwa terjadi. Sementara Jakarta basah.

Thursday, June 21, 2007

kali ini tak ada lagi cinta.

Tidur Bersama Semut

sudah beberapa hari hiliran semut mondar-mandir di ruang kontrakkanku. kadang aku membersihkannya dengan melibas langsung dengan sapu (kali ini tak ada lagi ampun. rasa tak tega membunuh seekor semut pun sudah lenyap entah kemana). kadang kubiarkan saja rombongan itu lewat di pojok-pojok ruang. seakan dapat berdampingan hidup dengan mereka.

tapi rasa mengganggu mulai mengusik saat rombongan itu secara berkala melewati alas tidurku. aku mulai curiga ada sesuatu dibawah alas tidur ku. sempat terfikir untuk mengadakan pembersihan total suatu saat nanti. apalagi aku baru saja luluran beberapa hari sebelum ini. meninggalkan rasa lengket di lantai yang belum dibasuh dengan kain pel. meski, jadwal pembersihan total itu sendiri aku tak pasti.

siang ini, setelah makan siang dengan lauk urap yang luar biasa pedas, aku merasa kembali ngantuk. (come on, padahal aku baru bangun jam 11.30 hari ini). berniat ingin kembali merebahkan badan. kembali kulihat hiliran semut itu. sempat berfikir yang tidak-tidak. khawatir menemukan bangkai sesuatu yang membuat pasukan itu rajin bergerombol ke tempat ku. (aku pernah menemukan bangkai tikus pada alas tidur di rumahku dulu. benar-benar peristiwa horor!)

dengan rasa horor bercampur gemas ku singkap alas tidur yang terdiri dari tumpakan dua kasur lipat. dan aku mulai bergidik melihat pasukan semut yang nauzubillah banyaknya. gosh! rupanya mereka telah membuat rumah di bawah alas tidur ku. dan rumah mereka berawal dari kardus yang menjadi dasar alas tidurku.

hampir setahun lalu aku mendapat kiriman kulkas dari seseorang yang tak perlu kau tau lebih jauh. kulkas dengan kapasitas 120 liter (kalau tak salah) ku letak di ruang belakang. berdampingan dengan ruang cuci piring dan kamar mandi. aku sempat bingung dimana menyimpan kardus pembungkus yang lumayan tebal itu. ide brilian datang dari ibu kos ku yang menyarankan untuk dijadikan dasar buat alas tidur ku. "biar tambah anget", katanya.

aku sepakat dan mengagumi sarannya yang terbukti manjur itu. kebetulan pula ukurannya pas dengan alas tidur ku. sampai terjadi peristiwa horor itu.

beberapa hari sebelumnya aku sempat tak nyaman dengan bau apek yang kadang muncul saat aku menggulingkan tubuhku di sudut ruangan. mengganggu nyenyak tidurku. sementara aku tak tau dari mana sumber bau apek itu. awalnya sempat menduga bau apek itu berasal dari laba-laba yang secara berkala juga mampir dan membuat rumah di sudut-sudut ruanganku. aku sudah membersihkannya. entah karena sugesti, bau apek itu sempat hilang dari penciuman ku.

tapi beberapa hari ini bau apek itu kembali menyeruak. seingatku, aku pernah membersihkan alas tidur ku beberapa waktu lalu. sudah lama memang. seingat ku pula, tak ku temukan sesuatu yang mencurigakan saat itu.

aku memang sering merasa tak nyaman dengan ruang tidur ku yang sekarang. lembab (aku pernah mengeluhkan hal ini sebelumnya bukan?). namun, kardus lapuk (aku hampir dapat memastikan salah satu penyebabnya adalah lantai yang belum kering benar saat aku kembali merapikan alas tidur ku beberapa waktu yang lalu) yang akan menjadi sarang bagi ratusan bahkan mungkin juga ribuan semut benar-benar tak pernah terbayangkan oleh ku. aku termenung-menung sendiri. jadi (entah telah berapa lama) aku tidur bersama pasukan semut itu. mereka memang tak terlalu mengganggu ku. beberapa sempat melintas tubuh ku. tapi bisa aku libas dengan kibasan tangan. tak ada serangan balik. menggigit atau masuk ke lubang-lubang yang ada dalam tubuh ku. mungkin mereka tau aku masih hidup. aku hampir pasti, bila aku telah menjadi mayat tak akan ada bedanya aku dengan bangkai cecak atau kecoa yang tak lagi utuh karena telah dipenuhi oleh pasukan mereka.

Monday, June 04, 2007

Roman Picisan

Hari ini tak satu pun panggilan atau sms masuk ke handpone ku. Senyap. Aku memang tak punya banyak teman. Tak juga punya hubungan khusus dengan seseorang yang membuat ia begitu rindu untuk menghubungiku. Dan kesunyian itu membunuhku pelan-pelan. Meski tetap berusaha ku tepis dengan upaya-upaya keras membesarkan hati sendiri.

Sebagai bagian dari membunuh sepi dan membesarkan hati itu aku nonton sendiri. Ini bagian dari aktifitas rutin sebenarnya. Menonton di hari senin demi mendapatkan tiket yang lebih murah. Dan 99%-nya kerap ku lakukan sendiri. Termasuk menebalkan perasaan saat melihat para pasangan yang asyik masyuk sendiri.

Tebalnya perasan itu kerap terkikis saat aku memasuki momen berikutnya. Makan malam sendiri. Aku sering tak mampu lagi memanipulasi diriku sendiri. Telah ku upayakan untuk mencari teman untuk aktifitas ini. Namun sebagaimana sudah aku bilang, teman ku tak banyak. Dan aku lebih sering mendapati kegagalan disbanding kesuksesan saat mengajak teman ku yang tak banyak itu untuk sekedar menghabiskan waktu beberapa menit melakuakn aktifitas makan malam bersama.

Lalu kau pun bisa menebak aku akan menyusuri jalan pulang sendirian. berjalan melewati rute yang biasa ku tempuh. Kadang aku menikmatinya. Sebagaimana kau tau aku tak begitu suka dengan kebisingan. Aku akan memilih diam dan menyendiri di tengah keriuhan. Aku sangat membatasi segala bentuk komunikasi bahkan dengan orang tuaku sendiri. Aku sering tak mampu mengungkapkan pikiran dan perasaanku pada orang lain dengan baik. Namun kenikmatan itu kadang ada batasnya. Dan kerinduan untuk berbagi perasaan dengan orang lain secara intim kerap menyobek-nyobek emosiku sendiri. Menumpahkan airmata.

Ah, berapa banyak orang seperti aku? Para jomblo kesepian dengan sederet keterbatasan yang tak mampu dipecahkan?

Announcement *

Tepat 10 april lalu usia 30 ku jelang. Ada kekhawatiran sendiri mengingat usia biologis perempuan untuk punya anak terbatas. Aku bisa saja kukuh dengan pendirian pura-pura tegar ku untuk tak perlu peduli dengan sindiran kiri kanan dan mempersiapkan diri untuk tetap melajang. Dan adopsi anak bila perlu (kau pasti tau betapa banyaknya anak terlantar di negera bodoh ini). Tapi, sebagaimana kau duga, rasa cemburu terhadap pasangan-pasangan atau teman angkatan yang entah sengaja atau tidak pamer kemesraan dengan keluarga kecil mereka kerap menonjok perasaan ku. Mengendap dalam pikiran dan membangun cerita sedih pada malam-malam tak bisa tidur ku.

Ya, ya, aku juga bisa bilang bahwa aku pernah mencoba menjalin hubungan. Yang kalau mau dihitung secara acak berjalan hampir lima tahun. Sudah bisa menghasilkan seorang anak yang sedang lucu-lucunya kalau mau. Tapi aku tak ingin lagi mengingat-ingat masa lalu. Aku, seperti yang pasti bosan kau dengar, ingin memutus kenangan itu. Bertemu orang baru yang mengajak ku menjelang hidup baru.

Bagaimana pun aku ingin mendapatkan yang terbaik untuk hidupku. Termasuk harapan ditemukannya laki-laki yang tepat untuk ku. The right man on the right place. Sorry to say, kalau aku tetap idealis untuk mendapatkannya. Meski aku tak tau harus mencari kemana. Pasang iklan atau gabung di biro jodoh, aku tak punya cukup nyali. Mengaku pada orang bahwa mendapat pasangan menjadi salah satu prioritas ku saat ini saja aku tak berani (demi menunjukkan idealisme ku, aku juga perlu bilang bahwa ada prioritas lain dalam agenda hidup ku saat ini. Memantapkan karir dan going abroad tentu).

Maka, harapan untuk mendapat laki-laki impian itu sudah kau duga hanya sebatas penghias mimpi malam yang segera buyar siang saat aku bangun dan merasakan perut yang minta diisi. Aku hanya mampu membangun harapan bahwa akan ada saat dimana aku akan bertemu dengannya dan berkata “ I do”.

*Judul diatas tadinya dimaksudkan sebagai pemasangan iklan tentang kejombloanku. Tapi membaca isinya aku sendiri merasa tidak pada tempatnya judul itu diterapkan. Mungkin “Pangeran Impian” lebih pas. Tapi rasanya terlalu klise dan agak-agak teenlit gitu.

Tuesday, January 02, 2007

Mati (lagi)

saat hiruk pikuk orang omong soal tahun baru yang baru beberapa jam aja lewat,
saat para paranormal kembali jadi bintang untuk didengar ramalan-ramalannya,
saat stasiun teve lagi banyak-banyaknya muter film-film box office, breaking news itu datang.

aku membacanya lewat headline text yang dipasang sctv saat mereka muter film abg "catatan akhir sekolah" yang aku tonton secara berselang-seling dengan "johnny english"-nya trans teve. pesawat adam air diberitakan hilang kontak pada senin malam itu. segera aku membayangkan para penumpang yang panik tak tau apa yang tengah terjadi pada penerbangan mereka. mereka mungkin saja telah tenggelam di samudera luas dan baru akan ditemukan bangkai-bangkainya kemudian. atau terdampar di hutan belantara dengan persediaan yang minim. (segera kubayangkan cuaca dingin di tengah hujan yang menggigit dan service pesawat yang menyakitkan).

kembali aku bayangkan cita-cita angot-angotanku bila aku tengah merasa tak punya daya hidup untuk pergi ke suatu tempat tanpa pernah kembali. tapi aku yakin bukan peristiwa seperti itu yang aku inginkan.

Wednesday, November 29, 2006

It is Refresh Me up

thx to gave beautiful moment this night, cam... .

Nawal el-Sadawi

Tak percaya akhirnya aku berhasil bertemu dengan pengarang yang aku kagumi itu. Tadinya aku malah tidak berfikir bahwa ia masih hidup (pikiranku pasti dikacaukan dengan pengarang dari mesir lainnya, najib mahfouz, yang telah pergi beberapa bulan lalu. Pikiran bodoh sekaligus memalukan). Aku menemuinya dalam suatu acara yang sangat kebetulan. Saat aku begitu suntuk dan butuh “sekedar bahu untuk menangis” berharap ada jalan keluar. Lalu aku kontak lisa temanku. Meski aku tau, tak ada teman yang benar-benar bisa kita harapkan saat kita punya masalah. Ingat motto ku selalu kan? Semua orang punya kesibukan dan masalahnya sendiri-sendiri.

Lisa memang sempat menerima teleponku, meski saat aku tanya,”lu sibuk? bisa ketemuan?" Ia tanpa sungkan-sungkan menjawab, "iya sih". Dan telepon sempat terdiam beberapa saat karena ia harus menemui tamunya di seberang sana, menurut pengakuannya.
"Tapi… kalo lu mau, kita bisa ketemuan ntar malam, gue ada janji nemenin temen gue dari Jordan. Lu gabung aja", tutupnya mencoba membesarkan hatiku.

Aku sempat menolaknya. Buat apa aku berada ditengah orang-orang yang tengah klangenan? Lagipula aku butuh privasi untuk membicarakan masalahku. "Gue butuh ketemu sekarang lis, gak mesti sama lu sih, tapi sama mbak tati. Soal fiscal gue", desakku mengungkap masalah yang sempat bikin aku sumpek dan jutek beberapa hari belakangan ini. Soal ada apa dengan fiscalku itu sendiri rasanya tak ingin aku perpanjang pada judul ini. Pada judul lain mungkin. Meski aku tak janji.

“Lu datang aja ntar sore di galeri nasional, ada Nawal disana,” kembali lisa memberi alternatif.

***
Awalnya aku tak jelas dengan acara ini. Ku pikir ini acara yang sekedar membahas buku-buku Nawal tanpa pernah menghadirkan secara langsung pengarangnya. Meski tetap aku niatkan untuk datang. Tujuan pertama tentu bisa bertemu tati dan ia bisa menjadi malaikatku sore itu. Meski aku tau ini harapan yang sangat berlebihan dan praduga itu terbukti benar. Tujuan lainnya tentu mencari udara lain. Keluar dari kantor dan rutinitas sejenak agar dapat sedikit melupakan masalah yang tengah aku hadapi. Tujuan ini ternyata lebih ampuh dari sekedar dugaanku sendiri.

Aku datang telat. Sempat jutek dengan sapaan penerima tamu yang menurutku sangat tidak sopan. Padahal ia jelas lebih tua dari aku. Perempuan pula. Dan mungkin pula aktifis. (lalu apa hubungannya?)

"Dari mana mbak?," tanyanya.

"Demos", jawabku.

"Oh… disini", lanjutnya sambil menunjuk pada buku tamu yang dikhususkan bagi media.

"Saya bukan dari media mbak. Dari LSM. Demos", jawaku mengulang ucapanku semula.

"o… anak buahnya…."

"Asmara nababan," kataku memotong kiraanya

"Anak buahnya boni ya?", tuduhnya tanpa menghiraukan jawabanku sebelumnya

"Padahal kita ngundang mas boni lho… eh, yang dateng anak buahnya…"

Aku menahan diri sambil berusaha dengan tenang menulis nama dan alamat kontakku. Padahal betapa inginnya aku membalas perkataannya, "dengar ya mbak, boni gak pernah bilang ada acara apa-apa tuh. Dan saya bukan anak buahnya…", batin ku geram. Arrrgghhh....!!! hari gini ngomong istilah anak buah?!

Ingin sekali aku tambahkan kegeramanku lebih panjang lagi, "saya di demos lebih lama dari boni jadi mungkin ia lebih pantas jadi anak buah saya, tapi kita semua teman. Bukan subordinasi".
Tapi semua geraman itu aku tentu saja tetap aku simpan dalam hati. Aku tetap tenang sambil menyerahkan kartu namaku saat penerima tamu yang perempuan senior itu memintanya (see? Aku berhasil bertindak dewasa kali ini bukan?)

Aku masuk ruangan dengan peserta yang pikuk. Kebanyakan perempuan. Dari beberapa generasi. Ninuk Mariana Pambudy baru saja menyelesaikan uraiannya tanpa pernah aku tau apa isinya. Mataku segera menangkap sosok itu. Duduk ditengah diantara para pembicara. Berambut perak dengan kuncir kuda tersisir rapi. Semua putih. Mengingatkan aku pada rambut Adnan Buyung Nasution. Kemeja yang dikenakannya pun berwarna putih. Lengan pendek dengan garis vertical berwarna merah muda. Wajahnya kelihatan bersahaja. Segera ku cari tempat duduk saat aku tau aku belum tertinggal untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya.

Then she became the only one star on the stage. Pernyataan-pernyataannya begitu memukau. Menggairahkan semangat hidup. Mengingatkanku pada Pram. Juga kesamaan keduanya pada ketuliannya. Sehingga setiap penanya harus berdiri mendekat dengannya dan menggunakan mikropon.

Audiens begitu bersemangat bertanya padanya. Dan semua pertanyaan dijawabnya dengan jawaban-jawaban yang sangat memukau. Aku hanya sempat mengingat dan mencatat beberapa saja.

"Nawal, bagaimana mungkin kita selamanya menjadi pemberontak, seperti prinsip anda, padahal dalam hidup selalu ada aturan-aturan yang tak bisa kita lampaui?", gugat penanya petama yang langsung diresponsnya dengan senang.

"Good question. I already get this question in every place I go", katanya sambil tersenyum…."maka berkreasilah. Be creative. Creativity is change the rules. Make a new rules. Jangan selalu tunduk pada peraturan-peraturan yang mengekang kita". Begitu kira-kira jawabannya.

Lalu saat ditanya soal pendidikan?
"Education dependent on political system. If system good, education will be good and we don’t need pay to our education. That’s our basic need" yang langsung di timpali dengan tepuk tangan audiens.

Pertanyaan lain dari Jajang C. Noer yang tampaknya menyempatkan diri untuk hadir (aku beberapa kali bertemu dengannya pada acara-acara diskusi tentang perempuan),
"pandangan anda untuk tidak tergantung pada siapapun, termasuk suami, agar kita bisa berfikir dan bertindak merdeka, menjadi tambahan referensi bagi saya, hal lain yang ingin saya tanyakan adalah, sebagai muslim apakah anda shalat?"

Secara diplomatis ia menjawab, "dalam kepercayaan asli masyarakat Mesir kami mengenal dua bentuk tuhan. Laki-laki dan perempuan. Dari sanalah kita mengenal konsep-konsep penciptaan dan pemeliharaan alam. Namun agama-agama besar seringkali mereduksinya menjadi tuhan laki-laki yang sangat berkuasa dan kita menjadi takut padanya. Menjadi harus tunduk padanya dengan segala keterpaksaan. Ini agama yang sungguh-sungguh maskulin dan saya kira kita bebas untuk menentukan apakah kita harus merasa takutnya atau tidak".

Jawaban menarik lainnya dan sangat diluar dugaan buatku adalah saat ditanya, "apa pendapat anda terhadap profesi full time mother?"
Ia dengan tangkas menjawab, "anda harus tau, dan seharusnya kita semua sadar, tidak ada istilah full time mother atau father, karena anak butuh space bagi dirinya sendiri. Jangan dikira anak-anak butuh selamanya diawasi atau didampingi. Mereka butuh ruang bagi dirinya sendiri. Beri mereka kebebasan". sebuah jawaban yang segera mendapat tepuk tangan audiens. Riuh.

Aku menyukai jawaban-jawabannya yang tak terduga. Dan sempat menimbulkan rasa penasaranku untuk bertanya langsung padanya. Meski kesempatan itu tak pernah ada. Panitia merasa punya kewajiban untuk membatasi waktu dengan alasan kesehatannya. Nawal sendiri tampak telah mengisyaratkan hal itu. Meski ia tetap memberi kesempatan bagi siapapun yang tidak diberi kesempatan bertanya lagsung untuk mengirimkannya lewat emailnya.

aku berhasil mendapatkan alamat emailnya. Secara langsung. Atas tulisan tangannya sendiri. Dengan perjuangan yang tidak ringan. Menerobos kerumunan orang-orang yang ingin mendapatkan tanda tangan atas buku-bukunya, para wartawan yang entah dari mana asalnya yang masih mencecarnya dengan banyak pertanyaan, dan usiran panitia untuk membubarkan kerumunan dan memberi ruang bagi Nawal untuk beristirahat. Aku sempat berjanji pada diriku sendiri untuk berkorespondensi dengannya nanti. Meski kau pasti tau, niatan itu tak juga kesampaian sampai hari ini.

***
Kalau kau tanya apa yang akan aku tanyakan padanya bila kesempatan itu ada, aku akan bertanya apa arti penderitaan baginya, dan bagaimana ia berhasil melampaui semua rasa sakit itu?
Meski aku bisa menduga apa jawabannya. Pasti ia akan menjawab, menulis. Buatlah menulis sebagai terapi sekaligus pengobatan bagi rasa sakitmu. Seperti yang telah ia lakukan pada puluhan karya-karyanya. Seperti yang tengah aku lakukan saat ini. dan aku akan kembali menambahkan jawabnya, biasanya orang akan begitu productive, akan menghasilkan karya monumental saat ia berada dibawah tekanan.

Jadi peliharalah rasa sakit itu. Agar kau tau apa arti berjuang dan menghasilkan karya-karya monumental karenanya.

Bank Budi

Sebarkanlah kebaikan maka kau akan mendapatkan balasan lebih dari kau kira.

Betapa ingin aku selalu bisa berbuat baik. Setiap saat. Setiap waktu. Tapi setan selalu ada dalam hatiku. Maka jangan heran bila aku lebih sering menjadi orang yang pelit luar biasa dan penuh perhitungan ketimbang orang yang selalu beramal. Jangan pernah berharap kau akan bisa dengan mudah meminjam sesuatu padaku. Entah uang atau barang. Karena pasti aku akan punya beribu alasan untuk tak memberinya, padahal, aku juga ingat, “ingat pesan ibu ya, beramal jangan nunggu banyak uang,” kata ibu angkatku di suatu malam saat tumben-tumbennya aku mengunjunginya setelah entah berapa lama aku tak pernah ke rumahnya.

***
"Jangan lupa aura positip ya bo, senyum dong…", pesan teman yang baru saja aku kenal tapi kami jadi begitu akrab, lewat pesan pendek yang dikirimnya di suatu pagi. Mengingatkan kembali aku. Menyegarkan kembali pikiranku, padahal malam sebelumnya telah ku habiskan berlembar-lembar tisu atas masalah yang tak pernah kubagi pada siapapun. Tidak juga pada teman yang baru saja aku kenal itu. Ia mungkin saja iseng mengirim sms sekedar keep in touch atas kedekatan kami beberapa hari lalu.

Istilah "aura positif" sendiri kami, aku dan dia, dapatkan hasil dari obrol-obrol kami pada makan malam acara perkenalan kami di cipanas beberapa waktu lalu. Semua peserta rata-rata baru kenal saat itu. Dan kau tau, karena tempat menginap peserta dibagi atas dua kelompok, laki-laki dan perempuan, segera saja terbentuk ikatan yang kuat diantara kelompok-kelompok itu. Aku sekamar dengan Emi staf YLBHI, Rani dari ICEL, dan mbak Endang dari PPSW yang baru bergabung keesokan harinya.

Emi, perempuan bertubuh kecil yang ku kira usianya masih dibawahku tapi ternyata telah memiliki anak bersekolah tingkat dasar, dan berselisih usia 3 tahun lebih tua dari aku, memiliki sikap yang matang dan sangat keibuan. Ia banyak bercerita tentang kebajikan-kebajikan hidup yang kadang kami respon dengan guyonan dan sindiran diantara kami. Kami, aku dan rani (yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku), perempuan-perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun.

Dari emi pula kami dapatkan "aura positif" itu. Ia sendiri bercerita istilah itu didapatnya dari guru ngaji anaknya saat mereka saling curhat tentang kehidupan. Masih menurut ceritanya, bila kita berbuat baik sedikit saja maka alam akan menyimpannya dan menyebarkannya pada orang-orang disekitar kita. hingga tanpa pernah kita sadari balasan kebaikan akan kita terima. bahkan mungkin lebih dari yang kita duga. sebaran yang juga diperbantukan alam inilah yang kemudian diistilahkan dengan "aura positif". Tapi bukan emi yang mengirim pesan pendek pagi itu. melainkan perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku yang telah menyegarkan pikiranku pagi itu.

***
Di bagian-bagian awal karya terjemahan terbaru salah satu pengarang favoritku, Paulo Coelho, “Zahir”, yang belum sepenuhnya habis aku baca, ia sempat menyebut istilah “bank budi”. Tampaknya ini juga istilah sindiran bagi sang tokoh (karena sikapnya yang kadang berantakan) dari salah satu temannya. Akan kukutipkan beberapa kalimat untukmu. Berupa percakapan antara sang tokoh dan teman baiknya itu. (Gosh, batapa seriusnya aku hingga aku perlu menulis kembali terjemahan dari buku itu meski tak sepenuhnya kalimat bersedia kuketik untukmu. Beberapa malah mengalami pengeditan sesuai seleraku).

“Istilah itu dikenalkan pertama kali oleh seorang penulis Amerika. Bank budi adalah bank paling kuat di dunia, dan kau bisa menemukannya di setiap aspek kehidupan.”

“….Aku mulai menyimpan direkeningmu bukan simpanan uang tetapi kontak. Kukenalkan kau pada orang ini dan itu, mengatur perjanjian-perjanjian, dan kau tau kau berutang budi padaku, tapi aku tak pernah minta apapun dari mu.”

“Dan suatu hari, aku akan minta tolong padamu dan kau bisa saja mengatakan ‘Tidak’, tapi kau sadari bahwa kau berutang budi padaku. Kau lakukan apa yang ku minta. Aku terus membantumu, dan orang-orang lain melihat kau orang yang tau membalas budi, jadi mereka pun mulai menyimpan direkeningmu –selalu dalam bentuk kontak, karena dunia ini hanya terdiri atas kontak, tidak ada yang lain lagi. Mereka pun pada suatu hari akan minta bantuan padamu, dank au akan menghormati dan membantu orang-orang yang pernah membantumu, dan pada saatnya, jaringanmu akan melebar ke seluruh dunia, kau akan kenal semua orang yang pernah kau kenal, dan pengaruhmu akan tumbuh semakin besar.”

“Aku bisa saja menolak permintaanmu.”

“Tentu saja. Bank budi adalah investasi yang berisiko, sebagaimana bank-bank lain. Kau bisa menolak permintaan bantuanku, karena kau pikir aku membantumu karena kau memang wajib dibantu, karena kau yang terbaik dan semua orang harus mengakui bakatmu. Tidak apa-apa, aku akan mengucapkan terima kasih banyak dan minta tolong pada orang lain yang juga berutang budi padaku, tapi mulai saat itu, semua orang tau, tanpa perlu kuucapkan sepatah katapun, bahwa kau tak bisa dipercaya.”

“Potensimu tidak akan tumbuh maksimal, dan pasti tidak sebesar yang kau inginkan. Pada suatu titik, hidupmu mulai menurun, kau turun separuh jalan, tidak sampai ke dasar. Kau akan setengah bahagia, setengah merana, tidak frustasi tapi juga tidak terpuaskan. Kau tidak panas dan tidak dingin. Hanya suam-suam kuku. Dan seperti kata seorang pengkhotbah dalam buku sucinya: ‘makanan yang suam-suam kuku tidak menimbulkan selera’…”

Kau boleh saja setuju dan tidak (terutama pada kalimat terakhir kutipan sang pengkhotbah itu, karena tentu saja aku pun akan memilih menunggu makanan menjadi suam-suam kuku ketimbang lidahku tersiram kuah panas). Tapi tentu kau tau apa yang ingin kumaksud dalam penggalan-penggalan kalimat yang telah kutulis itu.

Bank budi, aura positif, beramal jangan menunggu sampai kau banyak uang…

(aku tak ingin menjadi pengkhotbah dengan kalimat penutup seperti ini, yang kelihatannya juga anti klimaks, aku hanya tak tau bagimana menutup tulisan ini secara klimaks…)

Ingin Memenggal Kepala Ayah

Ini judul cerpen yang pernah ditulis temanku. Meski aku tak ingat betul apa isinya dan telah dimuat di media apa. Tapi judul ini seringkali begitu pas dilekatkan pada kebencianku pada ayahku sendiri. Seperti malam itu. Saat aku begitu tak bisa menguasai diri saat aku tau kaligrafi yang telah begitu susah payahnya dibuat adik bungsuku di waktu liburannya dari pondok pesantrennya di jombang dan menghasilkan karya yang lumayan menarik dipandang mata dengan semena-menanya dipotong sesuai kemauannya. Kemarahanku semakin mengkal saat aku tau potongan itu sangat tidak asimetris. Tak mungkin disambungkan lagi karena perlu tambalan disana sini. Sangat mengurangi estetika. Padahal aku telah berniat akan memajangnya di kamar kos ku nanti.

Kau tau apa sangkalannya saat aku meradang tentang hal ini, ia dengan enaknya menjawab, sengaja dipotong karena tak pas dengan ukuran kaca jendela. Gosh, kau tau dimana ia memasang kaligrafi ini setelah sekian lama aku tak pulang? Di kaca jendela depan. Adikku yang lain malah sempet mengejek, "banyak yang ngirain bapak lagi pasang iklan lowongan pekerjaan tuh…."

Sambil menahan marah dan tangis aku sempat berkata padanya, "Pak, jangan melakukan hal-hal semaunya sendiri. Minta pertimbangan orang lain. Orang yang bikin pasti marah kalau tau karyanya dipotong seenaknya kayak gini. Hargai karya orang."

Sudah dapat diduga ia tak akan pernah menerima pendapatku. Pendapat siapapun. Dan aku lah teman bertengkarnya sejati selama ini. Itu sebabnya aku tak pernah betah lama-lama tinggal di rumah. Selalu ada masalah yang akan kami ributkan. Dan aku paling tak tahan dengan sikap dan pandangannya yang sering kali aku anggap aneh. Sangat aneh dan seringkali tak bertanggung jawab.

Kegeramanku saat itu kemali memunculkan memori lamaku saat aku baru saja memenangkan lomba antar sekolah beberapa tahun lalu. saat itu aku mendapat hadiah berupa tabungan. Aku tentu saja senang karena itu akan menjadi bekal bagi cita-citaku untuk melanjutkan kuliah. Aku ingat betul hadiah itu seperti anugerah karena aku tengah berada di tingkat akhir sekolah menengah atas dan aku sangat ingin bisa kuliah. Kau perlu tau betapa morat-maritnya kehidupan keluarga kami saat itu (yang sedikit mengalami perubahan saat ini) sehingga sekolah menjadi hal yang luar biasa buat kami. Kakakku sampai harus putus sekolah. Akulah anak pertama di keluargaku yang punya semangat begitu kuat untuk tetap bisa sekolah hingga harus berjualan koran bekas. Aku pula anak pertama yang berhasil mencecap pendidikan begitu tinggi yang tak semuanya diwariskan adik-adikku yang lain. Aku sering kali merasa rapuh mengingat hal ini. Semangatku untuk tetap bisa sekolah seringkali harus aku bayar mahal. Termasuk saat aku tau tabungan hadiah lombaku sebelumnya telah raib diambil ayahku sendiri. Untuk modal usaha katanya. Dan aku tak pernah tau usaha apa. Yang aku tau semua usahanya tak pernah ada yang sukses. Hingga rumah kami satu persatu tergadai dan kami harus berpindah tempat tinggal dari satu rumah kontrakkan ke rumah kontrakkan yang lain hingga kini. Menyisakan kesusahan pada ibuku yang harus meminjam uang ke sana kemari demi kelangsungan hidup kami. Termasuk bekal awal kuliahku yang telah raib dicuri.

Aku akan dengan mudah menunjuk siapa biang keladi kesusahan ini. Tentu saja ayahku yang menurutku tak pernah bertanggung jawab atas kelengsungan hidup keluarganya. Aku pernah menggugat pada ibuku kenapa begitu setia padanya dan melayani semua kebutuhan-kebutuhannya meski kami semua telah memiliki krisis kepercayaan padanya. Aku tak ingat betul apa jawabnya. Tapi satu hal yang mungkin patut dibanggakan dari ayahku ialah ia laki-laki yang setia. Menurut ibuku ia tak pernah kedapatan selingkuh dengan siapapun meski ia punya bakat untuk itu. Konon, kakek dari ayahku adalah "don juan" sejati. Istrinya ada dimana-mana. Ayahku termasuk salah satu anak entah dari istri yang ke berapa yang ditinggal begitu saja sampai akhirnya nenekku memutuskan untuk menikah lagi dengan orang lain. Mungkin kepahitan hidup menjadi anak tiri telah membuatnya kukuh untuk setia pada keluarga nanti.

Tapi apa yang dilakukannya kemudian? Ia mungkin saja setia, dan kami boleh bangga atas hal itu, namun aku tetap akan menilai ia kepala keluarga yang tak punya cukup tanggung jawab untuk menyejahterakan keluarganya. Ia hanya pandai memproduksi anak yang akan dilahirkan ibuku setiap dua tahun sekali dan total menghasilkan 8 anak, minus kakak keduaku yang mati saat masih bayi. Tapi seringkali tak ambil peduli pada masalah anak-anaknya. Membuat aku seringkali menggugat, hey, engkaulah penyebab aku lahir di bumi ini. Mengapa kau jadikan aku dulu?

Kebencianku pernah sampai terbawa dalam alam bawah sadarku dan aku pernah bermimpi memenggal kepalanya yang ku kira kepala seekor ayam jantan. Mimpi horror. Membuat aku ketakutan sendiri. Mimpi yang telah lama sekali. Mimpi itu terjadi jauh sebelum aku kenal temanku yang kemudian menulis judul cerpen yang persis sama dengan mimpiku dulu. Dan aku tak pernah mencerikan mimpiku kepada siapapun. Tidak juga pada ucu temanku yang cerpenis itu. Bila ia tiba-tiba mempuntai inspirasi yang sama, mudah diduga kau akan tau jawabannya, itu hanya kebetulan semata….

Aku Tidak Ingin Menikah

Jadi jangan kau tanya, kapan?

Tuesday, November 07, 2006

Speech.. Speech.. Speech...

gue selalu kesulitan untuk berbicara secara runut dan sistematis. apa yang ada di kepala selalu berbeda dengan kata yang kemudian terlontar. apa yang tampaknya mudah dan dengan begitu rapinya tersusn dalam otak gue tiba-tiba menjadi kacau-balau ketika gue berbicara. semua jadi begitu amburadul. gue jadi bicara tak keruan dan sering tersesat ditengah ucapan gue sendiri.

gue selalu kagum pada orang-orang yang mempunyai kemampuan presentasi yang baik. yang mampu berbicara dengan gaya yang enak, runut, dan sistematis. percayalah, gue selalu berusaha untuk bisa melakukannya. tapi kau tau, tak pernah berhasil. gue selalu bicara dengan cepat, tak fokus, dan gue hanya bisa menyesal diam-diam saat kesempatan buat gue berbicara selesai. "kenapa jadi begini...........?" "kenapa yang gue omong tadi begitu jauh dengan apa yang sebelumnya sudah susun dikepala?"

ah, rasanya ini berhubungan pula dengan kelemahan gue yang lain. yang selalu tak bisa fokus, lemah dalam mengingat hal yang detil, dan paling pusing kalau disuruh hitung-hitungan.

so, what's your ability, madam...?

Monday, November 06, 2006

Going Abroad

baru tiba dari doha, qatar, menghadiri seminar internasional yang wah banget... (cerita detilnya nanti aja). ketemu beragam orang dengan beragam pesonanya. gue semakin merasa gak ada apa-apanya. semakin terpecut untuk mengakrabi bahasa asing. memahiri bahasa inggris gue yang gak becus-becus sampe hari gini, mempelajari bahasa lain (sempet menyesal mengapa begitu cuek dengan bahasa arab yang sempat gue pelajari dasar-dasarnya dulu?), karena gue cuma bisa terkagum-kagum dengan orang yang begitu lancarnya berbahasa asing lebih dari dua bahasa dan bahasa ibunya (di konferensi ini bahasa yang digunakan selain inggris adalah arab, perancis, dan spanyol).

sempet ketemu temen yang aslinya "wong jowo" tapi berkantor di genewa, yang kangen banget makan tempe (sampe segitunya), yang bahasa inggrisnya ngalir kayak air sementara setting di ponselnya pake bahasa perancis (pusing!). atau saat ngobrol di acara sarapan yang hangat dengan seorang dosen perempuan di irak, yang cantik dan pintar, yang bahasa ibunya tentu saja bahasa arab, dan tentu saja bahasa inggris yang terjaga, lalu tak canggung menyapa teman dari salah satu negara di afrika dengan sapaan perancis dan gue cuma bisa bilang, "i don't understand.." sambil tertawa, dia cuma menjawab, "khomsi.. khomsi.."

ah, ah, buka mata, buka telinga, ini jamannya gobal bung, atau kau akan tertinggal.
dan gue cuma bisa berharap semoga ini bukan kepergian yang pertama dan terakhir...
dan tiba-tiba gue ingin punya rumah dengan ruang pribadi dan kamar mandi ber-bath tub...

Friday, September 15, 2006

jablai

what happen aya naon nih blog? tiba-tiba gak bisa dibuka. apa karena sudah terlalu lama gak ditengok? "jablai" orang bilang. jarang dibelai. padahal lagi pengen nulis sesuatu. meski kadang niat tinggal niat. ah, masih gak berubah juga gue. pemalas seperti dulu.

Friday, July 21, 2006

Air

aku selalu suka air. meski, bila kau percaya pada segala unsur dan shio yang direkatkan pada tanggal kelahiran, konon unsur api mendominasi segala sifat dan perilakuku.

aku suka berlama-lama berada di kamar mandi. aku tak akan jenuh memandang panorama yang penuh dengan air.
aku suka pantai. aku sempat memimpikan berumah di pinggir pantai.
aku suka laut. aku tak pernah habis mengerti memandang segala kemisteriusan yang terjadi saat kita memandang gejolak ombak yang terjadi di permukaan laut. atau pantai.
betapa dinamisnya. betapa indahnya.

tapi aku tak pandai berenang. tak juga bisa. padahal betapa aku menginginkannya.
kelihatannya mudah saja. tiap kali aku melihat orang yang bergerak-gerak dengan indahnya di kolam renang. tapi percayalah, aku menjadi orang yang begitu kerdil tiap kali menjajal kolam renang. takut tenggelam. padahal kedalaman air tak seberapa.

rasa takut itu pula yang tiba-tiba meruap saat aku dengan nekatnya mencoba menebus ketakutanku di dalam air. sendiri. di kolam renang gg house. di gadog sana. di sore hari saat hujan mulai meradang. menjelang magrib. di saat tamu-tamu bergegas meneduhkan diri. termasuk bocah-bocah kecil anak temanku yang sore itu datang berlibur dan melepas kangen dengan ayahnya.

kuingkari rasa cemasku. berganti kostum lalu menceburkan diri. tapi tak berlangsung lama. segera ku angkat kaki. saat sepi mulai menyergap dan rasa takutku tak tertolong lagi. meski rasa sesal bercampur gemas masih tertinggal. akankah engkau bisa kutaklukkan? sementara usia tak lagi menunjang?

Who Wants To Be Millionaire?

kamis malam, 13 juli 06, tengah malam menunggu mata tak lagi bisa bekerja sambil menyaksikan siaran teve yang tanpa logika. setelah klik tombol sana sini, sempat pula menyaksikan ajang pemilihan L-Men manhunt indonesia yang tanpa pesona (heh, ternyata kalau para lelaki dipajang bertelanjang dada sama sekali tak menaikkan birahi apapun. aku malah seperti melihat binatang-binatang yang bisa berdiri dan berbicara). pemilihan berakhir dengan pemenang yang sudah kuduga meski bukan "gacoan gue" (hakul yakin aku memastikan kemenangan nando ini lebih karena wajahnya yang "oriental" agar layak jual untuk kawasan asia).

acara berganti. sedikit surpraise menemukan "who wants to be millionaire" tengah malam begini. "mentang-mentang ada rahma azhari," tulisku pada sebuah pesan pendek yang kukirim pada teman begadang di ujung sana. "hehe.. silahkan lihat wanita cantik yang otaknya ada di dada...," sambungnya. sumprit. ledekan khas lelaki.

edisi ini memang agak khusus tampaknya. menampilkan para wanita cantik yang dikenal dari dunia selebritas. rahma azhari salah satunya. aku sempat melihat engel elga, dan istrinya bebi romeo (?) menjadi peserta disitu. dan rahma mendapat kesempatan menjadi peserta pertama yang menempati kursi panas.

poin per poin terus melaju. sempat gregetan dengan gaya kenesnya saat tak tau wr. soepratman identik dengan alat musik apa. atau patung prajna paramitha disimpan dimana. tapi percaya dirinya kembali ditonjolkan saat menjawab sebagai grup musik bukan berasal dari irlandia. "kebetulan aku suka musik..." jawabnya dengan tidak meninggalkan kekenesannya.

kepedeannya makin ditonjolkan saat ia mengontak temannya yang adalah orang bule. ia menggunakan fasiltas phone a friend karena terjegal pertanyaan yang rada-rada asing. bahasa inggrisnya lancar. dan ia mendapat jawaban yang dimauinya. setelah itu, entah mengapa tantowi yahya sang pemandu pun ikut-ikutan bercakap dengan bahasa inggris. seperti tak ingin kalah bahasa. dan aku seperti menyaksikan tayangan who wants to be a millionaire versi amerika. you know what? si cantik yang otaknya ada di dada ini berhasil melampaui titik aman kedua. 32 juta rupiah. well done. dengan segala kekenesannya.

"lewat 32juta juga doi. orang cakep emang disayang tuhan. meski tolol dan sok nginggris". kutukku. masih pada teman di ujung sana.

(perempuan-perempuan cantik itu, apakah isinya? kegemasanku makin menjadi saat melihat peserta kedua yang adalah model tapi tak ku tau namanya kebingungan saat ditanya apa sinonim dari kata meninggal?
"aku agak-agak bingung nih anatara sinonim dan antonim...,"katanya. God...)

Thursday, May 04, 2006

Dia yang Pergi...

minggu siang kemarin sebuah sms datang "siang ini iring-iringan pelayat menuju karet tengsin mengantar jenazah Pram..."
sebuah sms yang telat aku baca (aku baru saja menenangkan diri atas kasus pribadi yang tak ingin aku bagi padamu).

februari yang lalu orang yang sama sempat mengirim sms pula mengajak aku datang ke TIM untuk memperingati 81 tahun usia Pram. aku gagal memenuhi undangannya. dan dia cuma berkata "sayang sekali. padahal bisa jadi ini ulangtahunnya yang terakhir lho..."
aku sempat tak yakin dengan ucapannya itu. tahun lalu aku sempat menghadiri ulangtahun Pram yang ke-80. meriah. aku dengar ucapan-ucapannya yang terdengar kokoh. juga rasa optimisnya. "saya rutin makan dua butir bawang putih setiap hari untuk mengurangi gula saya," katanya saat ditanya bagaimana kesehatannya saat itu.

satu hal yang begitu membekas dan terus ternginang dalam pikiranku adalah pernyataannya saat ditanya "apakah Pak Pram pernah berdoa?"
ia menjawab tangkas,"dari kecil saya diajari untuk tidak meminta-minta kepada siapapun. hidup ini harus diusahakan sendiri. tanpa harus meminta-minta belas kasihan kepada siapapun..."
ah, betapa kokohnya ia. betapa aku mengaguminya. dan aku hanya bagian kecil dari "segerombolan" besar para pengagumnya.

kau tau, buku pertama yang aku beli dari uangku sendiri dan begitu aku banggakan adalah seri tetralogi "Bumi Manusia" yang aku beli di TIM. aku membelinya sekaligus waktu itu dan itulah buku termahal pertama yang pernah aku beli. setelah itu berturut-turut "larasati", "cerita dari Blora", "bukan pasar malam" dan entah apalagi, ada dalam genggaman. aku tak ingat persis meski ingat aku sempat pula membeli "ibunda"-nya maxim gorki yang diterjemahkan Pram dan kini sudah berpindah tangan ke orang lain.

aku juga ingat saat aku pernah begitu dekat dan sempat menyapanya pada sebuah acara dan ia menorehkan tandatangannya pada salah satu bukuku. betapa aku mengaguminya. caranya bertutur. kecintaannya pada indonesia. tanah air yang tak pernah memberinya penghargaan yang sebanding dengan karya-karyanya. dan ia tak pernah peduli. meski kadang rasa dendam sempat aku rasakan dalam beberapa pernyatannya. (ia yang menolak rekonsiliasi yang sempat ditawarkan gus dur atau pada jawaban-jawabannya bila ditanya tentang buku-bukunya).

betapa aku mengaguminya. pada kekokohannya yang sering aku bayangkan hanya dimiliki orang-orang eksistensialis. dan kini ia pergi. meninggalkan orang-orang yang mengaguminya. teman-teman yang bernasib sama yang sebagian memilih tinggal di luar negerinya. selamat jalan pak pram... tuhan tentu rindu pada makhluk yang tak cengeng sepertimu...

Thursday, January 19, 2006

percobaan hari ini (2)

agak surpraise juga gue bisa nulis agak panjang hari ini (liat postingan sebelum ini dong?). mengingat gue tengah merasa gue semakin bebal luar biasa. males ngapa-ngapain. cuma punya modal niat pengen buat ini itu. termasuk dalam hal nulis. dengan kemampuan fisik yang makin keropos. (tolong ingatkan gue bahwa gue pengen cerita soal tetirah di rumah sakit yang belum lama gue jalanin. juga soal pak dawet yang gue temui di jogja tempo lalu. semata unuk mengisi blog my journal gue yang udah lama banget dibiarkan kosong...).

Percobaan hari ini

Malam tadi gue sengaja pasang alarm tepat pukul 03.30 dini hari. Sebenarnya alarm itu juga sudah diset dari kemarin. Niatnya mau sahur untuk puasa. Puasa? Tumben? Ya. Sejak keluar rumah sakit seminggu yang lalu (dan hampir menghadapi sakaratul maut versi gue) gue jadi agak-agak makin religius (sedikit). (meski tujuan puasa itu sendiri agak-agak kabur buat gue. Beneran insyaf atau sekedar ngurangi lemak pada tubuh gue yang semakin mbohai saja…) Lagi pun, ini tahun baru toh?! Tempat orang biasanya bikin resolusi (kenapa dinamain resolusi? Kata yang gak pernah gue ngerti sampai sekarang) macam-macam yang intinya ingin ada perubahan. Meski biasanya gak ngaruh sama sekali. Kau tau, gue gak pernah sukses puasa. Pun di bulan ramadhan. Dan utang-utang yang makin menumpuk itu tak pernah terbayar.

Meski, omong-omong soal sahur, persiapan ini pun sudah dimulai sejak kemarin. Berhubung irawan, tetangga sebelah rumah gue dengan rela kompornya dibajak (ini sebenarnya kompor warisan yang ditinggalkan fadli, penghuni lama), gue jadi berfikir aneh-aneh. Yang mau masaklah, meski bisa dipastikan ini nafsu sesaat. Tau sendiri gue paling males berepot-repot ria masak. Lagipun, gue cuma sendirian, siapa yang mau ngabisin masakan yang pastinya gak mungkin tersaji satu porsi tok. Minus rasa yang gak perlu diomongin dulu disini.

Maka, lepas dari niat luhur apa dibalik keinginan gue puasa itu, berbelanjalah gue untuk persiapan sahur selasa malam lalu. Meski rada bingung. Masak apa di tengah malam buta yang praktis dan tidak mubajir plus dengan peralatan masak yang seadanya?

Hm, pilihan cepat jatuh pada telur ceplok. So, berbelilah gue beras seliter seharga 4.000 perak, telur ayam seperempat kilo, mentega sachet, dan garam halus di warung depan rumah. Total semuanya sepuluh ribu lima ratus rupiah. Eh, plus yakult sebuah ding. Biasalah lapar mata melihat tampilannya yang terpajang di lemari pendingin malam itu.

Lalu sukseskah acara sahur selasa malam itu? sama sekali tidak.
Alarm pada hp memang sukses berdering-dering pada pukul 3.30 dini hari. Dan gue sukes terbangun pada deringannya yang petama. Tapi tak gue biarkan dia berdering lebih lama. Segera gue pasung dan gue kembali ke posisi awal memeluk guling gue satu-satunya itu.

Gue masih ngantuk berat. Alasan yang memberatkan adalah malam kemarin itu gue bahkan baru bangun menjelang pukul dua dini hari. Ngapain aja? Kan udah niat mau sahur? Biasalah. Malam itu tiba-tiba saja gue tertarik untuk transfer gambar yang udah diambil sejak desember lalu (kamera baru bo! Lumix lz 30). Dan, karena ini kali pertama gue pegang kamera digital, agak-agak makan waktu lah untuk urusan-urusan teknis yang gue gak ngerti.
Belum lagi kemudian gue terpesona sendiri sama hasil gambar yang gue dapet. Trus pengen ngerubah ini itu. Klik sana klik sini sampai tengah malam.

Ah, ada gangguan lain juga sebenarnya. Capek karena gak berhasil merubah gambar seperti yang gue mau trus stel teve (ehm! Teve baru juga bo! Meski masih agak mangkel dengan gambarnya yang gak stabil meski sudah dipasangin antena luar). Klik sana klik sini.
Hah, tayangan tengah malam memang memanjakan libido siapapun yang telah tumbuh hormon testetoronnya. Meski kadang dibuat-buat. Ada tayangan ”fenomena klasik”nya trans teve yang malam itu berkisah tentang Mata Hari yang dibawain Djenar Mahesa Ayu dengan dandanan yang (sengaja) dibuat seksi. Atau tayangan tengah malamnya lativi dengan macam-macam judul yang gue gak hafal. Semuanya saru-saru (kenapa ka Oma tak pernah ribut soal ini?). Yang sempet terekam adalah tampilan Rahma Azhari sang host acara yang malam itu juga kelihatannya sengaja dibuat sesensual mungkin.

Isi acara pun dibuat macam-macam yang menggugah selera. (termasuk gue malam itu yang sampai kelepasan tidur jam 2 dini hari. Haha...) Omong soal atm kondomlah, sex toy lah. Halakabrah lah pokoknya. Eh, sempat lihat diskusinya metro tv yang omong soal UU pornografi yang nampilin Ayu Utami sebagai salah satu pembahas. Tapi, berhubung gambar metro adalah gambar terjelek di teve gue, males lah lama-lama noton tayangan dengan gambar yang kabur sana kabur sini.

Eh, gagal dengan niat puasa di hari sebelumnya bukannya meluntur tapi makin menebal pada hari berikutnya. Apalagi rabu siang kemarin gue semakin merasa bersalah dengan pola makan yang sudah tertelan. Jam sepuluh pagi dah makan berat. Siang jam 1 makan berat lagi. Lha, sore jam empat, belum sempat rasanya nasi terolah dengan baik, sudah makan mie ayam dengan menu lengkap. Ada bakso plus pangsit rebus. Alhasil perut terasa sesak dan ukuran panggul ke bawah ini semakin memberat saja. Belum lagi aktifitas kerja yang semakin menabalkan memberatnya ukuran panggul ke bawah itu.

Maka, untuk mengurangi rasa bersalah gue putuskan untuk keluar kantor sebentar untuk jalan kaki mengitari jalan borobudur sejenak kemarin sore itu. Bermula dari jalan borobudur no.4, ambil jalur kiri keluar proklamasi, lurus melewati megaria lalu masuk jalan mendut. Lurus terus melewati radio prambors, kantor kontras dan kembali ke borobudur no.4.
Berhasil mengurangi lemak? Entah lah. Yang jelas berhasil menguatkan niat bahwa gue memang harus berpuasa esok hari.

Maka, meski pulang dari borobudur dalam jam yang tidak bisa dikatakan sore, rabu malam kemarin alarm kembali terpasang pada pukul 3.30 dinihari. Yap, gue berhasil bangun. Berhasil membuat langkah maju karena meski gue terbangun lebih awal semata karena kebelet ingin buang air kecil (pengaruh obat yang malam itu gue minum?) gue gak lantas mengambil posisi untuk tidur lagi. Melainkan segera mematikan alarm yang belum sempat berdering dan mencuci segenggam beras.

Ya sesenggam. Bukankah tak adalagi orang yang makan kecuali gue sendiri dini hari itu? Meski tak yakin dengan hasilnya (mengingat tampilannya yang hanya berupa air dengan bulir-bulir beras yang melayang disana sini) gue nyalakan rice cooker. gue perkirakan 30 menit matang. Tapi karena lagi-lagi gue tak yakin dengan tampilannya, maka gue setia menunggu proses memasaknya. Gue memperkirakan nasi ini akan gosong.

Sambil menunggu gue sempat membersihkan peralatan yang akan gue gunakan untuk menceplok telur dini hari itu. Ah, saat mempersiapkan peralatan, ingatan gue melayang-layang ke sesuatu. (haruskah gue tulis disini?)

Gue sedang tak ingin bersentimentil. Tapi beberapa perabot ini gue beli saat gue punya temen dekat dan kami belanja bersama saat gue baru pindah-pindahan kos. Perabot yang lumayan lengkap untuk ukuran anak kos. Beberapa atas usulnya yang sesungguhnya gak pernah gue pikir. Termasuk membeli rice cooker. Mengingat prinsip gue selalu: kalau ada yang jualan sate, kenapa harus beli kambing?

Gue ingat, gue pun tengah keranjingan mengkoleksi perlengkapan makan minum saat itu. Maka terkumpullah sejumlah cangkir dan mug, piring dan mangkuk dengan bentuknya yang lucu-lucu. Semuanya tersimpan dalam dus sampai saat ini. Sempat terlintas untuk memajangnya kembali dalam rak (untuk itu gue harus membeli rak baru) tapi selalu ragu mengingat resam tinggal gue yang selalu temporer. Pindah sana pindah sini.

Beberapa memang gue pajang kembali kemarin. Terutama peralatan memasak mengingat gue baru mendapatkan kompor rampasan seperti yang sudah gue bilang. (heh, gue sengaja beli hang cooker di hero kemarin).

Eh, kembali ke acara masak memasak dini hari tadi, sambil menunggu nasi tanak gue coba-coba menyalakan kompor yang lagi-lagi gue gak yakin tampilannya itu. Kompor ini belum melewati uji kelayakan sejak ditinggalkan sang empunya. Tapi daripada berasumsi lebih baik mencobanya kan?

Maka gue ambil korek dan setusuk sumpit untuk menyalakan. Benar saja. Api memang sempat menyala. Tapi dalam nyala yang lumayan besar. Segera gue kecilkan. Hah, gue merasa api menyala dengan tidak wajar. Ia keluar dari jalurnya. Maka segera gue siram air sebelum segalanya terjadi. Sempat merasa ketar ketir. Gue memang agak phobi sama peralatan rumah. Api, gas, listrik. Sampai gue memutuskan, udahlah lupakan saja acara masak memasak sahur ini.

Lalu, bagaimana nasib yang beras yang sempat melayang-layang dan tertanak tadi?
Sebelum benar-benar gue nyalakan kompor, gue sempat ngintip penampakannya segera setelah tombol cook pada rice cooker berpindah tempat.

Guess what? Gue mendapatkan bentuk nasi yang aneh. Buliran nasi yang tersebar disana sini dengan lapisan seperti plastik di bawahnya. Lapisan ini seperti kalau kita memasak nasi liwet. Ia memang tidak gosong. Tetapi mewujud dalam bentuknya yang membuat gue takjub. Ia bisa diangkat tanpa meninggalkan jejak sebulir pun ditempatnya. Dan gue bisa melipat-lipat lingkaran nasi berlapis plastik itu menjadi sebentuk martabak. Meski tak termakan dan segera gue masukkan ke tempat sampah sesaat sebelum gue abadikan lewat ponsel gue dan azan subuh yang tiba-tiba mencuri waktu sahur gue.

Tuesday, December 13, 2005

gue yang semakin gendut, malas, dan egois

kata-kata gendut, malas, dan egois sesungguhnya tak punya korelasi yang baik untuk sebuah kalimat. kata gendut mungkin saja berhubungan dengan malas. tapi rasanya agak jauh bila harus disandingkan dengan kata egois. meski, bila dicari korelasi yang sekedar basa basi tentu tetaplah ada benang (kenapa selalu di sandingkan dengan kata merah?) yang menghubungkan ketiganya. apalagi kalau bukan sama-sama berbentuk kata sifat yang berkonotasi negatif. dan itulah yang akhir-akhir ini tengah dengan leluasanya bersarang dalam tubuh gue yang menyedihkan ini.

kata sifat pertama, gendut
waktu kuliah jaman 90-an dulu gue sempat mengalami bentuk tubuh ini. meski (entah sekedar menyenangkan hati) banyak temen gue yang bilang: "sebenarnya bukan gendut sih... tapi montok." haha...

timbangan saat itu berkisar antara 55-56 kilo. terasa benar badan susah bergerak. terutama untuk bagian pinggul ke bawah (ini entah merupakan anugrah atau justru nilai minus yang harus diperhatikan serius, bahwasannya bila mengikuti pola bentuk tubuh yang banyak disiarkan media mode, bentuk tubuh gue termasuk pola buah pir. alias membesar di bagian bawah). yang paling menjengkelkan adalah susahnya mencari mode baju yang pas dan enak dipandang mata (u know what, ukuran pinggang celana gue 30-31!)

beberapa tahun berikutnya entah mengapa banyak teman lama yang baru kembali bertemu merasa pangling dengan perubahan pada bentuk badan gue setelah itu. "eh ini atun yang dulu gemuk itu kan?" "ya ampun... lu kok kurus banget? abis make ya..."

ya ampun... gue sendiri sempat heran dengan reaksi temen-temen gue yang aneh itu. sebegitu drastis kah bentuk badan gue saat itu? meski timbangan tak pernah bergerak jauh dari angka 50 dan ukuran celana tetap 30 gue memang sempat merasa begitu merdekanya karena bisa dengan leluasa memilih model baju dan merasa heran, kok gampang ya cari ukuran badan gue sekarang? (hehe.. gue sempet menjalani diet swadaya sih meski tak selalu sukses. kau tau gue paling susah puasa makan dan resep diet saat itu tentu mengikuti prinsip pasar yang telah populer: makan nasi sesedikit-dikitnya dengan kuah sayur sebanyak-banyaknya. plus olah raga. meski cuma senam amatir!)

dan hari-hari belakangan ini rasa cemas akan makin gendutnya tubuh gue datang lagi. bukan sekedar cemas melainkan telah menjadi realita yang tak terbantahkan. gejala pertama adalah, bagian tubuh yang semakin memberat di bagian bawah. ini sebenarnya bukan kejadian tiba-tiba. setahun kemarin gue sempat merasa shock mendapati kenyataan bahwa satu-satunya kebaya yang gue punya namun belum pernah sekalipun gue pake mulai tak muat saat gue menjajal ulang. dan shock itu semakin menjadi saat kemarin gue pake baju renang dan tampak timbunan perut gue yang membuncit. omigod, menyedihkan betul bentuk tubuh gue sekarang...

sifat kedua, malas
ah, tanpa harus gue tulis panjang lebar pun kau pasti tau ini sifat bawaan yang susah banget enyah dari tubuh gue. hampir dapat dipastikan, tulisan ini pun tak dapat diselesaikan dengan baik karena rasa malas itu mulai datang lagi dan gue hanya bisa berjanji bahwa gue akan menyelesaikan bagian ini dan terakhir nanti. so, see u or kill me...

Kesempatan

Apakah semua orang memiliki potensi yang sama? Atau ia lahir dengan bakatnya masing-masing? Bila semua orang diberi kesempatan yang sama, pendidikan yang sama, apakah mereka akan memiliki kemampuan yang sama? Kemahiran yang sama?

Friday, October 07, 2005

kesempatan yang kuabaikan hari ini

seminggu yang lalu aku mendapat sms.
"anda dinyatakan lolos seleksi tahap satu..." bla.. bla.. bla...
awalnya ku pikir sms penipuan yang mengabarkan kita berhasil memenangkan sesuatu dan karenanya kita harus berbuat sesuatu sesuai dengan permintaan pengirim. (hari gini..?!)

kubaca lagi dengan seksama.
"lihat pengumuman di www.p2kp.org. untuk konfirmasi hubungi 021-...."
o, p2kp. aku pernah ngirim lamaran kesini ya? ya... ya... aku ingat. waktu ada lowongan di aceh aku sempat kirim lamaran dulu. entah lewat apa. email? pos surat? aku tak ingat lagi. hanya ingat aku memang sempat buat lamaran sana-sini. mencoba-coba melempar manggis. mana tau mendapat mangga. skedar usaha mendapat sesuatu yang baru (3 tahun di demos membuat aku merasa stagnan. status kontrak terus. gaji tak tambah. ilmu apalagi. dan riset ini praktis akan berakhir november besok).
tapi aku pun lalu tak begitu antusias membaca sms itu. ngirit banget sih ini orang. masak mau merekrut orang aja mesti kita yang menghubungi?

toh begitu sempat ku intip webnya. terdapat banner pengumuman peserta yang dinyatakan lolos seleksi 1 dan berhak melanjutkan ke seleksi berikutnya (lho?! kapan seleksi pertamanya dilakukan?). ada sejumlah nama disitu. termasuk pengumuman bahwa pelaksanaan tes selanjutnya adalah tes psikotest yang akan dilangsung senin 3 oktober 2005 jam 8.00 pagi di universitas tarumanegara sebelah kampus trisakti grogol. wah, makin malas aku.

pertama, kampus itu letaknya jauh. dan aku harus berangkat pagi-pagi. hrrrr....

kedua, psikotes? ampun lah. tes macam apa pula ini? apa yang bisa diharap dari tes ini? memprediksi kemampuan dan mental seseorang berdasar deret angka hasil jawaban orang yang belum tentu sedang bagus mood-nya saat menjawab soal-soal dalam hitngan detik itu. apalagi dikerjakan dalam keadaan perut kosong berjam-jam.

beberapa kali aku mengikuti tes ini. yang polanya sama dari tahun ke tahun. menggambar, berhitung, mencari lawan kata, mengingat sesuatu. aku makin merasa bodoh. apalagi kalau masuk soal hitung menghitung. membuat aku berfikir, apa hubungannya semua ini dengan posisi yang akan kita lamar? (aku pernah ikut 7 tahap seleksi untuk calon reporter kompas. pun tempo. meski masih tak nyambung apa hubungannya semua itu dengan dunia reportase dan jurnalisme? kenapa kualifikasi seseorang tidak diukur berdasar cv dan hasil karya seseorang? untuk memastikan sang pelamar tak berbohong toh bisa diverifikasi pada saat wawancara)

ketiga, seperti yang aku bilang, lembaga ini tampaknya tak serius merekrut orang. masak hanya bermodal sms.

maka dengan begitu kuputuskan untuk tidak mengindahkan pengumuman ini. sampai jumat siang lalu seseorang menelponku.
"hallo, mbak? kenapa kemarin gak datang tes?"
"o, saya gak bisa mbak. senin pagi saya ada acara". aku menjawab asal. asal kau tau, aku tidur sepanjang pagi itu.
"o, kita masih ada tes susulan kalau mau, besok tanggal 7 oktober. tempatnya nanti saya sms".

ya.. ya.. aku sempat menjawab antusias. tak menyangka mereka akan menguhungi ku. sebuah sms masuk. mengabarkan tes psikotes susulan. tanggal 7 oktober. tempat yang sama. jam yang sama. aku sempat gamang. hm, should i prepare my self to do this?

meski aku sempat membesarkan hati. bukankah aku ingin ke aceh? meski aku belum tau apa yang akan aku kerjakan disana. berapa lama masa tugas ku disana.

hm lagi, sebenarnya aku sama sekali tak buta tentag p2kp. aku pernah bekerja pada lembaga yang sama hampir 6 tahun yanglalu. saat p2kp tengah tumbuh menjadi lembaga baru. ini salah satu binaan world bank sebenarnya. program utamanya adalah memberikan kredit pada rakyat kelas menengah dan kecil untuk melakukan usaha.
maka jadilah lembaga ini. program pengentasan kemiskinan di wilayah perkotan yang kemudian disingkat menjadi p2kp.

program ini pun sebenarnya merupakan program revisi dari jps yang sempat booming tahun 99 lalu. dalam rangka memberi kail bagi rakyat kecil. tapi sering kali hanya berupa formaltas dan merupakan aksi bagi uang belaka.

aku sempat bertugas di wilayah klender dulu. sebagai fasilitator. mendampingi masyarakat membuat proposal untuk mendapatkan bantuan pinjaman. kami bertiga ditempatkan di satu kelurahan dulu. tiap fasilitator berhonor satu juta rupiah per bulan plus insentif 2% dari proposal yang berhasil dicairkan dananya. dana pinjaman minimal 5.000.000 maksimal 20.000.000. dengan masa pembayaran 1-2 tahun. bunga sekitar 15 samapi 20%.

dapat diduga selalu ada intrik disini. baik antar warga atau sesama fasilitator itu sendiri. insentif proposal selain memacu kerja para fasilitator untuk ulet menjaring "klien" juga menjadi sumber konflik yang sering tak terelakkan. masing-masing bergiat mencari dampingan demi mendapat insentif yang lebih besar. aku sempat merasa tak nyaman dengan cara kerja ini. sempat terjadi konflik laten antara kami. ditambah kondisiku yang jarang datang mengingat jarak tinggal yang jauh dan aku masih harus kuliah. aku sempat disidang menghadap ibu direktur saat itu.
sempat menyangka persoalan tak akan menjadi demikian besar. meski banyak juga teman-teman yang mendukungku saat itu akhirnya aku mermutuskan untuk keluar dari pekerjaan yang tentu saja aku anggap sangat tak sehat itu.

aku pun tak menyangka lembaga ini akan membesar. tak pernah ku temui lagi teman-teman ku dulu (jumlah mereka sebenarnya cukup besar. mengingat untuk jakarta saja terdapat lebih dari 100 keluarahan yang masing-masig kelurahan di"tanam" 3-5 fasilitaor. belum lagi di daerah botabek)sampai ku dengar lowongan untuk mengisi posisi di aceh itu. kata terakhir inilah yang sesunguhnya memikat hati.

aku ingin ke aceh. bukan karena p2kp itu sendiri. aku memprediksi pekerjaan yang tak jauh berbeda dengan apa yang pernah aku lakukan dulu. dan telepon jumat siang itu sempat kembali meneguhkan lagi keinginanku.
come on, u can do it! lagi pun aku fikir aku pasti bisa berangkat jumat pagi tanggal 7 oktober itu. bukankah setelah sahur aku bisa berjaga-jaga dan memprsiapkan diri untuk berangkat.

meski menjelang hari h ternyata aku tak puasa. tetap kupersiapkan diri untuk bangun pagi. aku sempat membeli panganan untuk esok hari dan memasang alarm pukul 6. meski aku telat beranjak tidur malam tadi. lewat pukul 1 dinihri aku masih terjaga. (aku masih mencintai malam dan membenci pagi saat kita harus bergegas menyongsong hari).

benar saja. saat alarm berbunyi mataku masih berat luar biasa. kepalaku makin pusing membayangkan pola psikotes membosankan yang harus aku jalanai. sempat terjadi perang batin (mungkinkah pengaruh tin di kamarku?) sebelum aku kembali menset alarm pukul 6.30.

waktu berlalu dan aku tak bisa kembali tidur pun terjaga. manimbang-nimbang betapa bebal dan menyebalkannya diriku. mengambil atau membiarkan kesempatan ini berlalu. satu-satunya hal yang memberatkan ku adalah soal aceh. this is my chance (but not the last).

hal lainnya yang agak memberatkan ketidakhadiran ku pagi ini di psikotes itu adalah makin tak terujinya kredibilitasku untuk bergiat mendapatkan sesuatu. dasar pemalas. sempat ku paksa diri beranjak ke kamar mandi sebelum aku memutuskan: bukan ini yang aku mau. maka kubiarkan waktu berlalu dalam tubuh yang kembali terlelap (oh, aku sempat mengirim beberapa sms). que sera, sera..

another stupid thing

ini jaringan internet bener-bener bikin gondok.
lambreta lalalala...
padahal gue lagi pengen nulis banyak.
padahal gue lagi gak banyak kerjaan.
padahal mood gue lagi bagus.
tapi kepentok sama hal tehnis yang gue sendiri gak bisa ngatasin
bikin enek dan membuyarkan semua keinginan.
selalu kayak gini.
kalau kita tengah mengingnkan sesuatu
harus jatuh bangun dulu untuk bisa meraihnya
sampai ia datang kita udah gak kepengen lagi menyentuhnya.

Monday, October 03, 2005

Bangsa gila

"ledakan bom bali mengalihkan perhatian terhadap ledakan bbm. kerjaan siapa..."
lewat tengah malam sebuah sms masuk ke ponselku. beberapa jam setelah aku menyaksikan tayangan sela yang mengabarkan tiga ledakan yang terjadi di jimbaran dan kuta bali.

"entahlah. ini bangsa gila. negaranya bangkrut. orang-orangnya lebih suka memakan sesama." jawabku kesal. bagaimana mungkin ledakan itu masih bisa terjadi lagi? aku pusing. geram. membayangkan hidup yang makin tak aman.

membayangkan keamanan yang makin diperketat. menyerahkan tas kita untuk diperiksa setiap kali kita menghadiri sesuatu. meskipun bukan di tempat formal. bahkan dipasar tradisional sekalipun. (aku teringat pada peristiwa pengeboman di pasar tentena). membayangkan ruang lingkup yang makin terbatas. menghindar pusat-pusat keramaian karena takut nyawa melayang sia-sia (sebelum ini pun rasa was-was sudah meninggi. makan makanan beracun, wabah yang disebakan burung liar, ditabrak pengedara motor yang sedang ngelamun, ditodong pencopet di bus sementara kita tak punya uang). hidup kita jadi tergantung pada orang lain. (dan aku sempat ragu untuk masuk ke gedung 21 yang tengah memutar film yang kontroversial)

lepas dari kontroversi tentang otonomi khusus yang dimintakan oleh pemda yang bali yang konon akan menjadikannya wilayah yang eksklusif, termasuk terhadap kaum minoritas muslim disana, lepas dari pandangan-pandangan kritis yang menyayangkan kondisi wisata bali yang makin menjadikannya jauh dari natural(wajar saja ia kan telah jadi tempat wisata internasional), aku menyukai tempai ini. salah satu tempat (seperti yang pernah aku bilang) dimana kita bisa mengeksperikan diri tanpa takut tatapan aneh orang-orang sekitar. tempat dimana kita bisa bebas berjalan-jalan meskipun hanya menggunakan cawat. tempat dimana kita bisa dengan bebas menikmati keindahan pantainya tanpa harus bayar tiket masuk (meski kadang ada juga perlakuan diskriminatif terhadap turis lokal dibanding turis luar), aku mencintai tempat ini.

dan kita menjadi begitu paranoid. saling curiga satu sama lain. aku sendiri tak pernah bisa mengerti bagaimana mungkin fenomena bom bunuh diri bisa terjadi juga disini? sering membayangkan apa yang dibayangkan seseorang yang telah memasrahkan diri menjadi pengebom? bagaimana perasaannya sesaat menjelang eksekusi? apakah mereka hanya manusia-manusia klon yang tak lagi punya nurani dan akal sehat?

aku pusing. ini bangsa gila. negaranya bangkrut. orang-orangnya lebih suka memakan sesama.

Friday, September 30, 2005

malam sepi menjelang kenaikan bbm

Sudah dua hari ini aku tak kemana-mana. Sengaja mengurung di kamar demi menyelesaikan tulisan yang harus disetor senin besok.
Tapi malam ini pertahanan itu rontok juga. Tak sengaja.

Pagi tadi lewat radio (aku belum juga sempat beli tv ;-/) sempat ku dengar kabar tentang aksi demo besar-besaran menuntut tak dilakukannya kenaikan bbm yang konon akan berlangsung secara estafet sampai hari minggu besok.
Semua berlalu begitu saja. Aksi ini sudah bisa diduga sebelumnya. Bukan aksi pertama. Dan biaya yang harus dikeluarkan seringkali tak sebanding dengan hasil yang diharapkan.
pun, ini bukan aksi yang pertama. Dan pemerintah telah membentengi diri sedemikian rupa saat mengeluarkan kebijakan klise ini. negara bangkrut maka rakyat yang harus menanggungnya (hey, kenapa tak dihapus saja semua subsidi yang diterima para pejabat itu? Mereka tak penah pusing memikirkan besarnya uang bulanan yang harus keluar untuk membayar tagihan listrik, telepon bahkan bensin).

Lagipula, seperti aku bilang, sudah dua hari ini aku tak kemana-mana. Tak kontak siapa-siapa. Sampai-sampai ibu kos ku mengetuk pintu kamar menanyakan apakah aku baik-baik saja. Ia takut aku pingsan atau apa. (sempat terbayang pula kisah tragis beberapa anak kos yang ditemukan beberapa hari kemudian dengan tubuh yang sudah membusuk karena tak ada yang tau keberadaannya).

Sebuah telpon sempat masuk kemarin. Dari suryanto. Pengajar di sanggar ciliwung. Mengabarkan bahwa ia tak bisa menemaniku ke oktagon rabu ini. Sebuah acara yang sesungguhnya pernah aku agendakan karena konon studio itu tengah sale besar-besaran dan aku tengah membutuhkan lensa tambahan untuk keperluan berburu fotoku. Well, karena (lagi-lagi) aku tengah tak ingin kemana-mana, jadi telponnya tak berarti apa-apa bagiku.

Kuabaikan pula niat untuk mengabarkan adanya aksi demonstrasi besar-besaran ini pada luthfi, teman yang sangat ingin mengabadikan aksi berdemonstrasi. ”aku ingin bisa ngedapetin eksperi wajah-wajah waktu demo,” katanya belum lama ini.
ya belum lama ini. karena minggu kemarin baru saja aku menghabiskan hari dengannya menyusuri daerah kota untuk berburu foto. Mulai dari gedung museum bank depan stasiun beos sampai pelabuhan sunda kelapa.

Sebuah perjalanan yang sesungguhnya diluar settingku sebelumnya. Ia tergila-gila betul mengambil wajah orang. Menunggu obyeknya berlama-lama demi mendapatkan ekspresi wajah yang diinginkan. Sementara aku paling menghindar mengambil obyek ini.
karena orang biasanya menjadi tak natural saat tau ia akan diambil gambarnya.

”itulah makanya aku suka susah nyari temen jalan bareng. Suka gak nyambung chemistry-nya”, katanya melihat aku bersungut-sungut saat menunggunya. Bukan apa-apa, yang membuat aku mendongkol tak keruan adalah karena ternyata ia naksir berat dengan kamera ku dan mengambil wajah-wajah itu dengan kamera yang sesungguhnya ingin aku gadai itu. Aku jadi nganggur dan dengan setia menunggunya. Bah! Bahkan saat kusampaikan niatan ku untuk menggadaikan kamera itu, ia malah menawarnya dengan harga yang tak pantas. Pukimak! kata orang melayu (sebuah kata saru yang telah menjadi common sense bagi orang melayu tentunya).
Tapi kalimat terakhirnya itu diam-diam aku benarkan dalam hati. Ya, memang susah mencari orang yang bisa nyambung chemistry-nya. Mencari belahan jiwa. Begitu judul lagu-lagu klise pernah bilang. Aku membenarkan demi melegitimasi kesendirianku saat ini.

well, kembali ke paragraf awal, kuurungkan niatku untuk mengabari berita yang ku dengar pagi ini. ia pasti tau berita ini. jadi tak perlu buang pulsa yang tak perlu. Lagi pula, seperti yang aku bilang, aku tengah tak ingin kontak siapa-siapa saat ini.

tentu saja aku sempat keluar sebentar. Sekedar mencari makan lalu kembali termenung di depan layar komputer mengira-ira apa yang perlu aku tulis untuk kemudian aku hapus kembali. Waktu berlalu dengan duduk atau tidur saat kepalaku terasa berat tak tau apalagi yang harus aku tulis. Entah lebih besar mana porsinya. Tidur atau terjaga. Yang jelas punggungku sempat terasa nyeri dan terasa bongkok.

Malam ini pertahanan untuk tetap mengurung diri di kamar itu akhirnya rontok juga. Tak sengaja.

Awalnya aku hanya berniat keluar sebentar untuk mencari makan. Seperti biasa. Aku tak masak dan malas masak. Tapi tukang sate yang biasa aku liat mangkal di depan jalan itu ternyata tak ada. Mungkin juga pulang kampung menjelang puasa ini. mungkin juga tengah khawatir dengan isu flu burung yang tengah ganas-ganasnya. Entahlah. Aku sendiri sempat makan sate ayam malam sebelumnya sebelum aksi pengurungan ini berlaku. Tak ada kekhawatiran yang berarti meski pagi setelah aku terjaga aku sempat buang-buang air tak biasa. Ini mungkin tak ada hubungannya. Namun disebabkan tukang sate yang malam ini tak terlihat batang hidungnya itu aku lantas berfikir keras. Makan apa aku malam ini. sempat terlintas untuk makan sate atau sop kambing. Mungkin berguna untuk menambah gairah dan mengurangi rasa pegal di tubuhku (haha.. ini logika yang sungguh tak masuk akal). Yang jelas aku butuh sesuatu yang menyengat malam ini. seharian ini aku makan makanan yang sungguh tak menggugah selera. Sesuatu yang terlalu banyak unsur karbohidrat sementara aku sangat menyukai sesuatu yang berlemak (meski kesukaanku pada sesuatu yang berlemak kadang-kadang belaka. Kalau kau tanya apa menu favoritku? Aku akan menjawab cepat: seafood!)

Aku berfikir keras dimana bisa mendapatkan sate atau sop kambing yang malam ini sungguh ingin aku nikmati itu. Setauku tak ada di daerah sini. Aku terus berjalan menyusuri jalan surabaya. Sempat ku rasakan kesegaran mengingat aku benar-benar tak kemana-mana dua hari ini. Sampai aku punya pilihan. Cikini atau jalan sabang. Ya, jalan sabang. Ide yang bagus. Aku tak terlalu sering makan di sana. Hanya beberapa kali saat diajak makan bersama orang-orang yang kadang tak sengaja pula aku temui. Dan rasanya tak aneh bila malam ini aku menyambangi jalan itu. Lagi pun transportnya tak terlalu susah. Cukup sekali naik 502 lalu mengangsurkan selembar uang ribuan pada sang kernet, maka sampailah ia (ini sesungguhnya tarif tak resmi. Namun aku dapat menambah 500 rupiah bila ia menagihku. No big deal).

Tadinya aku fikir aku tak akan mendapatkan bus malam ini. Mengingat aksi demo hari ini. Mungkin saja beberapa angkutan melakukan aksi mogok. Meski kekhawatiranku ternyata memang berlebihan. Ku temui jalan yang sepi. Ini tak biasa. Baru menjelang pukul tujuh saat aku keluar tadi. Dan kota ini belum tertidur pada jam-jam seperti ini.

Malam ini memang terasa tak biasa. Seorang laki-laki sempat menegurku saat aku melintas jembatan tadi (arsitekturnya aku suka. Aku menduganya warisan masa kolonial). ”Mau kemana, mbak?,” aku mengacuhkannya. Namun sempat kutoleh sejenak wajahnya. Khawatir ia seseorang yang aku kenal. Karena tak biasanya ada orang yang menyapaku dengan sengaja. Ah, hanya tukang ojek yang tengah mencari peruntungannya malam ini.

Aku menunggu sejenak sebelum mendapatkan bus yang aku perlukan malam ini. sempat merenung akan niatan perjalananku malam ini. untunglah aku gunakan dengan benar penutup kepala ku malam ini. meski baju kumal tak karuan bergaya ala hippies dan tak sempat ku kenakan bra malam ini. haha... aku tau tak akan ada yang akan mengenaliku malam ini. kadang aku senang dengan kondisi ini. kondisi dimana kita tak mengenal dengan baik satu sama lain dan kita bebas melakukan apa pun yang kita mau. Lalu anganku melayang jauh. Aku sering melakukan ini. berjalan seorang diri dengan angan-angan yang melayang jauh... (mungkinkah ada orang yang bernasib sama dengan aku?)

Aku tau banyak yang bisa aku dapatkan di jalan sabang ini. Sagala aya. Namun aku langsung tergoda saat ku lalui sebuah warung yang menyediakan masakan makassar. Hm, tulisan coto itu sungguh menggugah selera. Sudah lama aku tak menikmatinya. Kutepis godaan itu. Perjalananku belum jauh benar. Baru saja melangkah. Lagi pula bukankah aku ingin makan sate atau sop kambing malam ini? nyatanya aku tak mampu menahan godaan kedua saat kembali kulewati warung makan makassar kedua. Sudahlah. Tampaknya aku memang harus berlabuh disini. Lagipula warung ini tampak tak seeksklusif yang pertama tadi. Meski ternyata harganya lumayan juga (aku menghabiskan satu setengah ikat buras plus es jeruk sebagai penyegar rasa dan harus membayar 16.000 untuk kegilaanku malam ini). Aku sering terbayang-bayang saat beberapa kali pernah mencoba coto yang asli makassar. Dan rasanya harganya tak mahal-mahal betul. Temanku pernah bilang, kalau mau, dengan uang tiga ribu kita bisa mendapatkan semangkuk coto yang rasanya tak kalah dengan harga diatasnya. Aku tak percaya. Namun tak membatahnya. Kadang tempat memang menentukan harga.

Kesegaran yang malam ini sempat aku rasakan rasanya tak ingin dengan cepat aku tinggalkan. Maka dengan sengaja aku susuri keramaian jalan ini. Ah, kota memang belum tidur ternyata. Meski aku sempat heran dengan kondisi sepanjang jalan yang sempat aku lalui tadi. Dan aku baru menyadari bahwa aku menempuh perjalanan dalam tempo yang singkat. Mungkin juga pengaruh dari lamunanku yang tak menyadarkan aku akan waktu yang telah tertempuh tadi. Yang sempat teringat, tak kutemui jalan yang macet di jalan cikini menuju tugu tani tadi.

Kemana orang-orang menyembunyikan diri malam ini? mungkin ke pusat-pusat perbelanjaan atau tempat-tempat makan seperti yang aku lakukan malam ini. meski tak sengaja. ada banyak tempat makan seperti. Sepanjang jalan yang dipenuhi warung makan semi permanen. Jalan ini sendiri mengingatkan ku pada tempat makan menteng. Meski tak persis betul. Menteng baru hidup petang saat malam menjelang. Sedang sabang sudah menggeliat sejak pagi menghadang. Ah, hanya dua tempat inilah yang aku kenali betul. Lainnya aku tak hafal betul. Meski aku sempat melewati daerah casablanca dan kutemui sebuah jalan dengan kondisi yang sama. Ramai dengan warung makan semi permanen. Tempat dimana kita bisa memilih menu apapun walau kadang dengan harga yang di luar kebiasaan.

aku nikmati rasa keterasinganku malam ini. (Ah, aku mulai lelah dan mulai tak fokus dengan tulisan ku sendiri saat ini). menyadari detil kecil yang sering aku abaikan selama ini (sampai saat ini aku masih bermasalah dalam menghapal jalan). berjalan melewati sarinah. Sempat berhenti sejenak melihat film apa yang tengah tayang di djakarta teater saat ini (ah, flight plan telah main) dan tertegun bingung memutuskan arah mana yang akan aku pilih menuju pulang malam ini. kuabaikan pilihan menuju kebun sirih. Ku putuskan untuk meneruskan perjalanan melewati bundaran hi. Bukan jalur yang singkat sebenarnya. Apalagi kalau kita lalui pada siang saat matahari tengah pamer-pamernya. Namun bukankah aku tengah ingin melanjutkan angan-anganku yang sedang ingin mengembara malam ini? lagi pula, mungkin ada sesuatu yang tersisa bekas aksi siang tadi.

maka kuputuskan berjalan dengan menghibur hati bahwa aku membutuhkan sedikit gerak dan keringat yang mengalir sejak aksi pengurungan ku dua hari ini. sesuatu pasti akan kembali melintas saat kita menemui kembali tempat atau jalan yang pernah kita lalui. Dengan beragam kenangan yang terjadi di dalamnya. Ku lihat gedung tempat undp memarkaskan diri. Aku ingat malam saat ikut aksi melawan terorisme dan menentang kebijakan as yang diskriminatif. Kami melakukan long march malam itu dari bunderan hi sampai depan kedubes as. Sempat singgah di depan kantor undp ini. Dan aku kembali melakukan dejavu aksi berjalan kaki itu malam ini. Sendiri.

Ah, aku belum ingin menutup tulisan ini sampai disini. Masih ada yang ingin aku sampaikan. Mungkin tak penting. Tapi aku sungguh merasa heran dengan rasa sepi yang kutemui malam ini? kemana orang-orang menyembunyikan diri malam ini? kenapa jalan tampak begitu lengang? Sempat ku lewati sarinah tadi. Tampaknya tetap ada kehidupan disana. Meski tak kutemui jalan macet luar biasa seperti yang biasa kita temui karena banyak mobil antri untuk mendapatkan tempat parkir. Kulewati pula plaza ex yang mengingatkanku pada pengalaman pertama saat menonton innocent voices didalamnya (mungkinkah dapat kutemui lagi kesempatan emas itu?). mungkinkah orang-orang juga tengah berkumpul didalamnya? Menghabiskan malam melepaskan rasa penat dan kepusingan dengan kondisi bangsa yang diancam kebangrutan ini? (kalimat ini mengingatkan aku pada pertanyaan ae yang disampaikan dua hari yang lalu. Sudah adakah yang menawarkan ganti kewarganegaraan? Negara ini sebentar lagi bangkrut!)

Harapanku untuk dapat menemui sisa-sisa kebesaran aksi siang tadi tampaknya sia-sia belaka. Kutemui bunderan hi yang gelap. Dengan air mancur yang sama sekali tak menyala. Tak ada polisi militer yang biasanya berjaga-jaga di sekitarnya. Kecuali seorang saja yang tengah menunggu posnya. (hal yang berlawanan saat aku melewati kantor gubernur tadi. Banyak lampu hias berkelap kelip. cantik. Sutiyoso memang genit. Ah, kutemui kondisi tak biasa pula disini. Jalur di depan kedutaan amerika tampaknya sudah mulai melebar kini. Meski tak lepas dari patroli para polisi yang siaga dengan senapan mereka. Pagar kokoh berlapis dan polisi yang siap siaga itu sempat mengingatkanku pada rasa schrizoponia yang tengah dilanda pemerintah as saat ini. siapa suruh membuat kebijakan yang tak populis? Siapa suruh mengobarkan perang?)

Pertanyaan itu kembali meruap. Kemana orang-orang menyembunyikan diri? Juga para polisi itu? Apakah mereka masih terkonsentrasi untuk mengamankan wilayah ring 1 dan 2 di medan merdeka sana? Tak kutemui jawaban pasti. Aku pun tak berminat tau lebih jauh. Lagipun, rasanya tak ada orang yang bisa memuaskan keherananku malam ini.
Ku pandangi sejenak patung selamat datang yang membisu itu. Temaram cahaya menyinarinya. Ah, sebuah arsitektur yang luar biasa memang. Diletakkan di pusat kota dengan panorama hotel indonesia di hadapannya. Hotel yang pernah menjadi kebanggaan sukarno dan bangsa indonesia. Namun kini kondisinya mengkhawatirkan. Sebelum kembali dipugar dan tak tau akan jadi apa nanti. Aku sempat mengambil gambar minggu kemarin. Tentu dengan keterbatasan lensa yang ada. Aku belum lihat hasilnya. Namun agak sulit saat mencari sudut yang tepat kemarin. Terganggu dengan keberadaan alat-alat berat yang tengah memugar hotel bersejarah itu.

Saat melewati bundaran yang senyap malam ini pun (dalam kondisi seperti ini tak terlihat hasil pugaran air mancur yang konon kabarnya menghabiskan dana 16 milyar!) aku sudah mempersiapkan diri bila memang tak ada bus yang bisa membawaku kembali. Meski aku terus berdoa banyak-banyak semoga kemungkinan buruk itu tak benar-benar terjadi. Aku ingin naik bus malam ini. dan tak ingin (lagi) menghabiskan dana percuma untuk menempuh jarak yang sesungguhnya tak seberapa itu dengan taksi. (aku semakin menyadari bahwa memang tempat tinggalku saat ini memang sungguh strategis. Meski tak terlalu nyaman).

Rupanya tuhan memang tengah bermurah hati malam ini. ku jumpai bus pertama sebelum sempat aku meletakkan pantatku saat aku berniat sabar menunggu dengan cara duduk di pinggir trotoar. Dan hey, welcome home! Meski aku malah melupakan tugas utamaku menyelesaikan tulisan yang ingin ku serahkan besok dan lebih memilih menulis nuansa yang ku temui malam ini.