Friday, September 30, 2005

malam sepi menjelang kenaikan bbm

Sudah dua hari ini aku tak kemana-mana. Sengaja mengurung di kamar demi menyelesaikan tulisan yang harus disetor senin besok.
Tapi malam ini pertahanan itu rontok juga. Tak sengaja.

Pagi tadi lewat radio (aku belum juga sempat beli tv ;-/) sempat ku dengar kabar tentang aksi demo besar-besaran menuntut tak dilakukannya kenaikan bbm yang konon akan berlangsung secara estafet sampai hari minggu besok.
Semua berlalu begitu saja. Aksi ini sudah bisa diduga sebelumnya. Bukan aksi pertama. Dan biaya yang harus dikeluarkan seringkali tak sebanding dengan hasil yang diharapkan.
pun, ini bukan aksi yang pertama. Dan pemerintah telah membentengi diri sedemikian rupa saat mengeluarkan kebijakan klise ini. negara bangkrut maka rakyat yang harus menanggungnya (hey, kenapa tak dihapus saja semua subsidi yang diterima para pejabat itu? Mereka tak penah pusing memikirkan besarnya uang bulanan yang harus keluar untuk membayar tagihan listrik, telepon bahkan bensin).

Lagipula, seperti aku bilang, sudah dua hari ini aku tak kemana-mana. Tak kontak siapa-siapa. Sampai-sampai ibu kos ku mengetuk pintu kamar menanyakan apakah aku baik-baik saja. Ia takut aku pingsan atau apa. (sempat terbayang pula kisah tragis beberapa anak kos yang ditemukan beberapa hari kemudian dengan tubuh yang sudah membusuk karena tak ada yang tau keberadaannya).

Sebuah telpon sempat masuk kemarin. Dari suryanto. Pengajar di sanggar ciliwung. Mengabarkan bahwa ia tak bisa menemaniku ke oktagon rabu ini. Sebuah acara yang sesungguhnya pernah aku agendakan karena konon studio itu tengah sale besar-besaran dan aku tengah membutuhkan lensa tambahan untuk keperluan berburu fotoku. Well, karena (lagi-lagi) aku tengah tak ingin kemana-mana, jadi telponnya tak berarti apa-apa bagiku.

Kuabaikan pula niat untuk mengabarkan adanya aksi demonstrasi besar-besaran ini pada luthfi, teman yang sangat ingin mengabadikan aksi berdemonstrasi. ”aku ingin bisa ngedapetin eksperi wajah-wajah waktu demo,” katanya belum lama ini.
ya belum lama ini. karena minggu kemarin baru saja aku menghabiskan hari dengannya menyusuri daerah kota untuk berburu foto. Mulai dari gedung museum bank depan stasiun beos sampai pelabuhan sunda kelapa.

Sebuah perjalanan yang sesungguhnya diluar settingku sebelumnya. Ia tergila-gila betul mengambil wajah orang. Menunggu obyeknya berlama-lama demi mendapatkan ekspresi wajah yang diinginkan. Sementara aku paling menghindar mengambil obyek ini.
karena orang biasanya menjadi tak natural saat tau ia akan diambil gambarnya.

”itulah makanya aku suka susah nyari temen jalan bareng. Suka gak nyambung chemistry-nya”, katanya melihat aku bersungut-sungut saat menunggunya. Bukan apa-apa, yang membuat aku mendongkol tak keruan adalah karena ternyata ia naksir berat dengan kamera ku dan mengambil wajah-wajah itu dengan kamera yang sesungguhnya ingin aku gadai itu. Aku jadi nganggur dan dengan setia menunggunya. Bah! Bahkan saat kusampaikan niatan ku untuk menggadaikan kamera itu, ia malah menawarnya dengan harga yang tak pantas. Pukimak! kata orang melayu (sebuah kata saru yang telah menjadi common sense bagi orang melayu tentunya).
Tapi kalimat terakhirnya itu diam-diam aku benarkan dalam hati. Ya, memang susah mencari orang yang bisa nyambung chemistry-nya. Mencari belahan jiwa. Begitu judul lagu-lagu klise pernah bilang. Aku membenarkan demi melegitimasi kesendirianku saat ini.

well, kembali ke paragraf awal, kuurungkan niatku untuk mengabari berita yang ku dengar pagi ini. ia pasti tau berita ini. jadi tak perlu buang pulsa yang tak perlu. Lagi pula, seperti yang aku bilang, aku tengah tak ingin kontak siapa-siapa saat ini.

tentu saja aku sempat keluar sebentar. Sekedar mencari makan lalu kembali termenung di depan layar komputer mengira-ira apa yang perlu aku tulis untuk kemudian aku hapus kembali. Waktu berlalu dengan duduk atau tidur saat kepalaku terasa berat tak tau apalagi yang harus aku tulis. Entah lebih besar mana porsinya. Tidur atau terjaga. Yang jelas punggungku sempat terasa nyeri dan terasa bongkok.

Malam ini pertahanan untuk tetap mengurung diri di kamar itu akhirnya rontok juga. Tak sengaja.

Awalnya aku hanya berniat keluar sebentar untuk mencari makan. Seperti biasa. Aku tak masak dan malas masak. Tapi tukang sate yang biasa aku liat mangkal di depan jalan itu ternyata tak ada. Mungkin juga pulang kampung menjelang puasa ini. mungkin juga tengah khawatir dengan isu flu burung yang tengah ganas-ganasnya. Entahlah. Aku sendiri sempat makan sate ayam malam sebelumnya sebelum aksi pengurungan ini berlaku. Tak ada kekhawatiran yang berarti meski pagi setelah aku terjaga aku sempat buang-buang air tak biasa. Ini mungkin tak ada hubungannya. Namun disebabkan tukang sate yang malam ini tak terlihat batang hidungnya itu aku lantas berfikir keras. Makan apa aku malam ini. sempat terlintas untuk makan sate atau sop kambing. Mungkin berguna untuk menambah gairah dan mengurangi rasa pegal di tubuhku (haha.. ini logika yang sungguh tak masuk akal). Yang jelas aku butuh sesuatu yang menyengat malam ini. seharian ini aku makan makanan yang sungguh tak menggugah selera. Sesuatu yang terlalu banyak unsur karbohidrat sementara aku sangat menyukai sesuatu yang berlemak (meski kesukaanku pada sesuatu yang berlemak kadang-kadang belaka. Kalau kau tanya apa menu favoritku? Aku akan menjawab cepat: seafood!)

Aku berfikir keras dimana bisa mendapatkan sate atau sop kambing yang malam ini sungguh ingin aku nikmati itu. Setauku tak ada di daerah sini. Aku terus berjalan menyusuri jalan surabaya. Sempat ku rasakan kesegaran mengingat aku benar-benar tak kemana-mana dua hari ini. Sampai aku punya pilihan. Cikini atau jalan sabang. Ya, jalan sabang. Ide yang bagus. Aku tak terlalu sering makan di sana. Hanya beberapa kali saat diajak makan bersama orang-orang yang kadang tak sengaja pula aku temui. Dan rasanya tak aneh bila malam ini aku menyambangi jalan itu. Lagi pun transportnya tak terlalu susah. Cukup sekali naik 502 lalu mengangsurkan selembar uang ribuan pada sang kernet, maka sampailah ia (ini sesungguhnya tarif tak resmi. Namun aku dapat menambah 500 rupiah bila ia menagihku. No big deal).

Tadinya aku fikir aku tak akan mendapatkan bus malam ini. Mengingat aksi demo hari ini. Mungkin saja beberapa angkutan melakukan aksi mogok. Meski kekhawatiranku ternyata memang berlebihan. Ku temui jalan yang sepi. Ini tak biasa. Baru menjelang pukul tujuh saat aku keluar tadi. Dan kota ini belum tertidur pada jam-jam seperti ini.

Malam ini memang terasa tak biasa. Seorang laki-laki sempat menegurku saat aku melintas jembatan tadi (arsitekturnya aku suka. Aku menduganya warisan masa kolonial). ”Mau kemana, mbak?,” aku mengacuhkannya. Namun sempat kutoleh sejenak wajahnya. Khawatir ia seseorang yang aku kenal. Karena tak biasanya ada orang yang menyapaku dengan sengaja. Ah, hanya tukang ojek yang tengah mencari peruntungannya malam ini.

Aku menunggu sejenak sebelum mendapatkan bus yang aku perlukan malam ini. sempat merenung akan niatan perjalananku malam ini. untunglah aku gunakan dengan benar penutup kepala ku malam ini. meski baju kumal tak karuan bergaya ala hippies dan tak sempat ku kenakan bra malam ini. haha... aku tau tak akan ada yang akan mengenaliku malam ini. kadang aku senang dengan kondisi ini. kondisi dimana kita tak mengenal dengan baik satu sama lain dan kita bebas melakukan apa pun yang kita mau. Lalu anganku melayang jauh. Aku sering melakukan ini. berjalan seorang diri dengan angan-angan yang melayang jauh... (mungkinkah ada orang yang bernasib sama dengan aku?)

Aku tau banyak yang bisa aku dapatkan di jalan sabang ini. Sagala aya. Namun aku langsung tergoda saat ku lalui sebuah warung yang menyediakan masakan makassar. Hm, tulisan coto itu sungguh menggugah selera. Sudah lama aku tak menikmatinya. Kutepis godaan itu. Perjalananku belum jauh benar. Baru saja melangkah. Lagi pula bukankah aku ingin makan sate atau sop kambing malam ini? nyatanya aku tak mampu menahan godaan kedua saat kembali kulewati warung makan makassar kedua. Sudahlah. Tampaknya aku memang harus berlabuh disini. Lagipula warung ini tampak tak seeksklusif yang pertama tadi. Meski ternyata harganya lumayan juga (aku menghabiskan satu setengah ikat buras plus es jeruk sebagai penyegar rasa dan harus membayar 16.000 untuk kegilaanku malam ini). Aku sering terbayang-bayang saat beberapa kali pernah mencoba coto yang asli makassar. Dan rasanya harganya tak mahal-mahal betul. Temanku pernah bilang, kalau mau, dengan uang tiga ribu kita bisa mendapatkan semangkuk coto yang rasanya tak kalah dengan harga diatasnya. Aku tak percaya. Namun tak membatahnya. Kadang tempat memang menentukan harga.

Kesegaran yang malam ini sempat aku rasakan rasanya tak ingin dengan cepat aku tinggalkan. Maka dengan sengaja aku susuri keramaian jalan ini. Ah, kota memang belum tidur ternyata. Meski aku sempat heran dengan kondisi sepanjang jalan yang sempat aku lalui tadi. Dan aku baru menyadari bahwa aku menempuh perjalanan dalam tempo yang singkat. Mungkin juga pengaruh dari lamunanku yang tak menyadarkan aku akan waktu yang telah tertempuh tadi. Yang sempat teringat, tak kutemui jalan yang macet di jalan cikini menuju tugu tani tadi.

Kemana orang-orang menyembunyikan diri malam ini? mungkin ke pusat-pusat perbelanjaan atau tempat-tempat makan seperti yang aku lakukan malam ini. meski tak sengaja. ada banyak tempat makan seperti. Sepanjang jalan yang dipenuhi warung makan semi permanen. Jalan ini sendiri mengingatkan ku pada tempat makan menteng. Meski tak persis betul. Menteng baru hidup petang saat malam menjelang. Sedang sabang sudah menggeliat sejak pagi menghadang. Ah, hanya dua tempat inilah yang aku kenali betul. Lainnya aku tak hafal betul. Meski aku sempat melewati daerah casablanca dan kutemui sebuah jalan dengan kondisi yang sama. Ramai dengan warung makan semi permanen. Tempat dimana kita bisa memilih menu apapun walau kadang dengan harga yang di luar kebiasaan.

aku nikmati rasa keterasinganku malam ini. (Ah, aku mulai lelah dan mulai tak fokus dengan tulisan ku sendiri saat ini). menyadari detil kecil yang sering aku abaikan selama ini (sampai saat ini aku masih bermasalah dalam menghapal jalan). berjalan melewati sarinah. Sempat berhenti sejenak melihat film apa yang tengah tayang di djakarta teater saat ini (ah, flight plan telah main) dan tertegun bingung memutuskan arah mana yang akan aku pilih menuju pulang malam ini. kuabaikan pilihan menuju kebun sirih. Ku putuskan untuk meneruskan perjalanan melewati bundaran hi. Bukan jalur yang singkat sebenarnya. Apalagi kalau kita lalui pada siang saat matahari tengah pamer-pamernya. Namun bukankah aku tengah ingin melanjutkan angan-anganku yang sedang ingin mengembara malam ini? lagi pula, mungkin ada sesuatu yang tersisa bekas aksi siang tadi.

maka kuputuskan berjalan dengan menghibur hati bahwa aku membutuhkan sedikit gerak dan keringat yang mengalir sejak aksi pengurungan ku dua hari ini. sesuatu pasti akan kembali melintas saat kita menemui kembali tempat atau jalan yang pernah kita lalui. Dengan beragam kenangan yang terjadi di dalamnya. Ku lihat gedung tempat undp memarkaskan diri. Aku ingat malam saat ikut aksi melawan terorisme dan menentang kebijakan as yang diskriminatif. Kami melakukan long march malam itu dari bunderan hi sampai depan kedubes as. Sempat singgah di depan kantor undp ini. Dan aku kembali melakukan dejavu aksi berjalan kaki itu malam ini. Sendiri.

Ah, aku belum ingin menutup tulisan ini sampai disini. Masih ada yang ingin aku sampaikan. Mungkin tak penting. Tapi aku sungguh merasa heran dengan rasa sepi yang kutemui malam ini? kemana orang-orang menyembunyikan diri malam ini? kenapa jalan tampak begitu lengang? Sempat ku lewati sarinah tadi. Tampaknya tetap ada kehidupan disana. Meski tak kutemui jalan macet luar biasa seperti yang biasa kita temui karena banyak mobil antri untuk mendapatkan tempat parkir. Kulewati pula plaza ex yang mengingatkanku pada pengalaman pertama saat menonton innocent voices didalamnya (mungkinkah dapat kutemui lagi kesempatan emas itu?). mungkinkah orang-orang juga tengah berkumpul didalamnya? Menghabiskan malam melepaskan rasa penat dan kepusingan dengan kondisi bangsa yang diancam kebangrutan ini? (kalimat ini mengingatkan aku pada pertanyaan ae yang disampaikan dua hari yang lalu. Sudah adakah yang menawarkan ganti kewarganegaraan? Negara ini sebentar lagi bangkrut!)

Harapanku untuk dapat menemui sisa-sisa kebesaran aksi siang tadi tampaknya sia-sia belaka. Kutemui bunderan hi yang gelap. Dengan air mancur yang sama sekali tak menyala. Tak ada polisi militer yang biasanya berjaga-jaga di sekitarnya. Kecuali seorang saja yang tengah menunggu posnya. (hal yang berlawanan saat aku melewati kantor gubernur tadi. Banyak lampu hias berkelap kelip. cantik. Sutiyoso memang genit. Ah, kutemui kondisi tak biasa pula disini. Jalur di depan kedutaan amerika tampaknya sudah mulai melebar kini. Meski tak lepas dari patroli para polisi yang siaga dengan senapan mereka. Pagar kokoh berlapis dan polisi yang siap siaga itu sempat mengingatkanku pada rasa schrizoponia yang tengah dilanda pemerintah as saat ini. siapa suruh membuat kebijakan yang tak populis? Siapa suruh mengobarkan perang?)

Pertanyaan itu kembali meruap. Kemana orang-orang menyembunyikan diri? Juga para polisi itu? Apakah mereka masih terkonsentrasi untuk mengamankan wilayah ring 1 dan 2 di medan merdeka sana? Tak kutemui jawaban pasti. Aku pun tak berminat tau lebih jauh. Lagipun, rasanya tak ada orang yang bisa memuaskan keherananku malam ini.
Ku pandangi sejenak patung selamat datang yang membisu itu. Temaram cahaya menyinarinya. Ah, sebuah arsitektur yang luar biasa memang. Diletakkan di pusat kota dengan panorama hotel indonesia di hadapannya. Hotel yang pernah menjadi kebanggaan sukarno dan bangsa indonesia. Namun kini kondisinya mengkhawatirkan. Sebelum kembali dipugar dan tak tau akan jadi apa nanti. Aku sempat mengambil gambar minggu kemarin. Tentu dengan keterbatasan lensa yang ada. Aku belum lihat hasilnya. Namun agak sulit saat mencari sudut yang tepat kemarin. Terganggu dengan keberadaan alat-alat berat yang tengah memugar hotel bersejarah itu.

Saat melewati bundaran yang senyap malam ini pun (dalam kondisi seperti ini tak terlihat hasil pugaran air mancur yang konon kabarnya menghabiskan dana 16 milyar!) aku sudah mempersiapkan diri bila memang tak ada bus yang bisa membawaku kembali. Meski aku terus berdoa banyak-banyak semoga kemungkinan buruk itu tak benar-benar terjadi. Aku ingin naik bus malam ini. dan tak ingin (lagi) menghabiskan dana percuma untuk menempuh jarak yang sesungguhnya tak seberapa itu dengan taksi. (aku semakin menyadari bahwa memang tempat tinggalku saat ini memang sungguh strategis. Meski tak terlalu nyaman).

Rupanya tuhan memang tengah bermurah hati malam ini. ku jumpai bus pertama sebelum sempat aku meletakkan pantatku saat aku berniat sabar menunggu dengan cara duduk di pinggir trotoar. Dan hey, welcome home! Meski aku malah melupakan tugas utamaku menyelesaikan tulisan yang ingin ku serahkan besok dan lebih memilih menulis nuansa yang ku temui malam ini.

No comments: