Wednesday, December 19, 2007

Catatan (menjelang) Tahun Baru

Sms lumayan panjang yang dikirim Elis, temanku yang kenes dan modis juga mahir berbahasa Inggris, pagi ini menggugah niatan ku untuk nulis ini.

Daam bahasa Inggris yang sudah aku bilang telah menjadi kemahirannya, dia berkisah tentang kesyukurannya pada anugerah 2007 yang dikecapnya lewat; terselesaikannya program master of english linguistics di unika atmajaya-nya yang sempat tertunda beberapa tahun, kesuksesan pindah ngantor-nya ke TNC (kantor international yang pastinya bikin gayanya makin mentereng. dia juga sempet singgung soal kesepakatan perubahan iklim di Bali kemarin), perjuangannya untuk tetap mempertahankan perkawinannya yang telah menghasilkan seorang putri 'ndut dan imut berumur 6 tahun (aku jarang bertemu dengannya. berita yang dikelompokkan olehnya sebagai berita baik ini tentu dapat dipastikan juga lewat perjuangan darah dan air mata ;-)), dan.... kesempatan pertamanya menjejak kaki di tanah Paman Syam.

kau pasti tau, apa yang menggugah seleraku untuk menulis. tentu kalimat terakhir itulah. bukan kesuksesan studinya (yang meski pernah aku tanyakan secara basa-basi barang satu dua kali) atau kesuksesannya berumah tangga (meski, aku bisa tegaskan sekali lagi lewat perjuangan yang disertai dengan darah dan air mata ;-)).
hm..., akhirnya berhasil juga dia menambah cap di buku pasportnya. sementara aku...

sebelum membahas lebih jauh soal itu, otakku melayang-layang ke bilik lain. mungkin juga tahun 2007 ini menjadi anugrah bagi banyak orang. aku ingat sms yang tiba-tiba dilayangkan Kokom, perempuan yang aku kenal karena sama-sama menjadi pasien di rumah sakit Mitra Jatinegara beberapa tahun lalu (rumah sakit yang bikin aku kapok karena mahalnya). meski, ia sempat menagabarkan berita duka karena dirinya yang kembali terserang tifus (penyakit yang sumpah mati juga tak ingin aku idap lagi) ia mengabarkan berita gembira yang tak aku duga. ia telah mimiliki seorang anak laki-laki berumur satu tahun. anak yang sudah sangat didambanya karena usia perkawiannya yang telah memasuki belasan.

kami tak pernah bertemu lagi setelah masing-masing dinyatakan sembuh dari rumah sakit. tapi kabar dimilikinya anak berumur satu tahun mengingatkan aku paling tidak usia pertemuan kami telah lewat dari dua tahun. dan, lahirnya Farel, nama anak laki-lakinya itu, pasti tak terjadi dalam tahun 2007 ini. meski begitu, aku bisa berkukuh bahwa anugerah itu telah dicecapnya pada tahun 2007 ini. setidaknya lewat kabar yang aku terima lewat sms-nya di akhir tahun ini.

Dan... anugerah terindah tahun 2007 mungkin akan menjadi milik Yus, teman yang juga aku kenal secara tak senagja lewat keaktifannya menjadi panitia kursus jurnalisme sastrawi-nya Pantau. Ia seumuran kakakku. Gerapyak, kata orang Jawa. gampang akrab dengan orang. meski kadang punya ide-ide aneh (dia pernah mengajakku shalat tengah malam di mesjid istiqlal pada hari jadinya dan berniat mejadi bos odong-odong di kampungnya di makassar sana, yang entah berhasil dijalankannya atau tidak).

Tanggal 24 Des besok pasti akan menjadi tanggal bersejarah bagi Yus karena ia akan resmi menjadi nyonya Tiyo, laki-laki yang hanya aku tau lewat foto dalam kertas undangan yang dikirimnya lewat celah pintu kamarku. fotonya sih lumayan keren. dengan usia yang pernah diakuinya secara malu-malu lebih muda usianya dari dirinya sendiri. aku telah membayangkan rona bahagia itu. ah, akhirnya.... ia akan mengutip syair Barbara Straissand. Finally, i found some one... kalimat yang pastinya juga menjadi bagian dari pencarian dalam hidup ku.

lalu bagaimana dengan aku?
aku sendiri tak yakin 2007 adalah tahun anugerah dalam hidup ku. aku masih di sini. dengan keruwetan hidup peninggalan masa lalu. beberapa perubahan terjadi. yang aku anggap tak terlalu signifikan (mengingatkan aku pada label hidup tak bahagia yang kerap diberikan the blues man pada ku. btw, kau sudah kenal orang ini kan?).

mungkin juga aku orang yang sinis pada hidup ku sendiri. tak pandai bersyukur. seperti yang sudah aku bilang, perubahan terjadi. sedikit. yang aku ingat saat ini bahwa aku tak lagi terlalu termehek-mehek pada kisah romanku. meski kadang rasa perih mengoyak perasaanku.

yang menjadi fokus utama ku saat ini dan kerap menimbulkan rasa cemburu luar biasa adalah, bagaimana caranya aku mencecap hidup di luar negeriku sendiri. betapa inginnya aku menjelajah ke luar negara ini. negara yang kadang bikin aku muak. aku ingin melihat dunia lain. merasakan rasa lain yang telah dirasakan banyak teman ku di negara lain. merasakan kebebasan yang mungkin tak kita temui di negara kita sendiri. selain menjadi semakin mahir dalam berbahasa asing (sebuah kemampuan yang sungguh sering membuat aku merasa putus asa sangking bebalnya). dan bukannya tetap berdiam diri di sini. sementara orang telah menambah panjang daftar riwayat hidupnya dengan bepergian ke Eropa, Amerika, Australia, bahkan pelosok Afrika (yang entah mengapa semua nama benua ini berakhiran vokal sama).

Jadi, kalaupun kau bertanya, kapan? aku berharap pertanyaan itu bukan pertanyaan sama yang diajukan pada Ringgo Agus yang bisa dijawab dengan jawaban yang sesungguhnya mudah ditebak. May.

Bertanyalah padaku, jadi kapan... menjadi manusia global?
karena aku tak ingin menghabiskan sisa umurku hanya di sini...

Friday, November 16, 2007

Jakarta Basah

Lama tak ngeblog. Tak mood. Tak ada ide. Sementara ribuan blog tercipta dengan bagusnya. Aku sering berapologi, mungkin bila aku bisa dengan mudahnya konek ke internet, tanpa batas dan halangan, akan makin rajin nulis. Mungkin juga tidak. You know who am I. sukanya ngayal yang tinggi-tinggi. Ngarep yang gak-gak.

Back to me again. Puluhan peristiwa berseliweran sementara aku vakum. Ada kisah roman, melodrama, sedikit ketegangan, kesenangan, dan rasa bosan yang masih betah bertahan. Aku akan tulis yang aku ingat saja. Mulai dari yang paling dekat.

Sudah beberapa hari ini Jakarta basah. Hujan berhari-hari. Gangguan rutin terjadi. Macet. Pohon tumbang. Banjir. Aku tak merasakan langsung semua gangguan itu. Aku sibuk menginstall laptop ku dengan game-game baru kemarin. Mencobanya satu per satu sampai mataku menyerah. Menyelesaikan tulisan tentang "Benteng Keraton Buton" yang aku harap bisa dimuat Kompas. Kalaupun tidak, ingin aku lempar ke National Geographic versi Indonesia. Meski mungkin agak berat. Menetapkan niat untuk kursus renang meski hari ini, lagi, niatan itu kembali batal. Setidaknya aku sudah berusaha. Terdampar sampai Jatinegara dan memutuskan kembali karena tak kunjung mendapat angkutan ke tempat kursus. Di Jatinegara otak ku berfikir cepat. Kemana harus menghabiskan hari. Aku putuskan untuk nonton “lions for lambs” di Megaria. Ini film serius. Beberapa dialog aku lewati. Entah tak mengerti atau tak konsentrasi. Aku ingat acara nonton dengan “the bluesman” yang sebentar lagi akan aku rinci. Lalu pulang dalam rinai gerimis yang kadang turun dengan serius. Jakarta basah.

Aku ingat pertemuan terakhirku dengan “sang kelana”. 3 September 2007. Di Novotel Mangga Dua. Aku ingat karena aku melingkari tanggal itu di kalender dindingku. Firasat akan pertemuan terakhir. It would be. Sudah dua bulan lebih dan tak ada tanda-tanda kegairahan darinya. Sementara aku makin menikmati kesedirianku. Tak sepenuhnya sendiri. Beberapa kali aku habiskan bersama “the bluesman” yang –seperti aku sudah bilang—akan aku rinci nanti. But let me finish it first dengan “sang kelana”.

Setelah tanggal 3 September itu ia ada sekali kontak aku. Lewat sebuah sms. Bukan telepon (sebuah tindakan yang sesungguhnya aku tunggu). Beberapa hari menjelang lebaran. Ia ingin aku menemuinya di Red Top. Aku acuhkan smsnya. Berharap ia melakukan lebih dari itu. Tapi ia tak pernah telepon. Menanyakan keacuhanku.

Sebuah sms kembali dikirimnya di hari lebaran. Sms basa-basi. Mengucap selamat lebaran dan mohon maaf lahir batin (ia biasa menggunakan kata “zahir batin”). Kembali aku acuhkan. Tak aku balas. Dan telepon itu tak pernah dilakukannya. Hingga kini. Dan aku mulai terbiasa untuk memupus segala harapan. Meski sesekali aku menyebut namanya. Saat merasa rindu. Tak lebih. Karena ini kisah roman. Sementara Jakarta basah.

Lalu ijinkan aku berkisah tentang “the bluesman”. Sedikit saja. Karena aku pernah secara khusus menulis tentangnya. Tapi aku hapus. Karena aku tak ingin menjadikannya kisah romanku. Aku malu mengakuinya.

Aku mengenalnya lewat reunian setelah acara hunting kami di Pulau Untung Jawa (akhirnya kutemui juga teman yang adalah seorang fotografer). Usianya setahun lebih muda dari aku. Kadang aku menikmati hari-hari yang aku habiskan bersamanya. Keliling Jakarta tengah malam hingga pagi menjelang. Atau nonton dvd bajakan secara marathon di kamarku yang disulap menjadi bioskop tanpa sound system yang memadai. Ia penuh kejutan. Meski bukan sepenuhnya tipe ku (aku masih sering membandingkannya dengan “sang kelana”). Sama halnya aku yang tak masuk dalam kategori sebagai “his girl”. Tapi seperti aku bilang, aku menikmati hari-hari yang dihabiskan bersamanya. Kerap merasa kehilangan saat ia tiba-tiba menghilang tanpa kabar (hal sama yang sering dilakukan “sang kelana”. Apakah ini memang kebiasaan laki-laki?). Merasa “cemburu” saat ia menelpon perempuan yang suatu saat diakunya sebagai mantan pacar namun kali lain dibanggakannya sebagai perempuan yang istimewa (aku sempat mengintip rekaman gambar seorang gadis manis bertubuh lencir bersuara merdu miliknya).

Aku tak ingin memupuk harapan. Tak ingin kembali masuk sebagai cinta kedua. Tak ingin terlena. Meski setan kadang menggoda. Sampai pecah perang dingin itu. Ia merasa tersinggung dengan kata-kata tak terkendaliku dalam sebuah balasan sms. Aku sendiri tengah merasa mangkel. Lebih dengan perasaanku sendiri. Aku tak ingin jatuh cinta dengannya. Meski setan makin sering menggoda. Tak tau malu. Ia benar-benar menghilang. Meski masih banyak barangnya yang tersisa di kamarku. Ini bukan kisah roman. Setidaknya aku menginginkannya begitu. Sementara Jakarta basah.

Di luar itu aku ingin menulis tentang kesuksesanku membeli sepeda. Polygon dengan warna yang cantik. 1,3 juta rupiah. Sebuah benda yang sesungguhnya bisa memicu ingatanku pada “the bluesman”. Mengingat kecintaannya pada sepeda dan selalu meracuniku untuk membelinya. Aku masih gugup mengendarainya. Minggu pagi lalu dalam uji coba pertamaku seorang bocah sukses menjadi korban kegugupanku.

Masih soal kendaraan, hasil patungan aku dan ibuku, kami akhirnya berhasil memiliki sebuah kijang second. 36 juta. Aku tak ingat persis spesifikasinya. Secara fisik aku anggap lumayan. Memacu gairahku untuk bisa nyetir. Entah kapan. Banyak peristiwa terjadi. Sementara Jakarta basah.

Thursday, June 21, 2007

kali ini tak ada lagi cinta.

Tidur Bersama Semut

sudah beberapa hari hiliran semut mondar-mandir di ruang kontrakkanku. kadang aku membersihkannya dengan melibas langsung dengan sapu (kali ini tak ada lagi ampun. rasa tak tega membunuh seekor semut pun sudah lenyap entah kemana). kadang kubiarkan saja rombongan itu lewat di pojok-pojok ruang. seakan dapat berdampingan hidup dengan mereka.

tapi rasa mengganggu mulai mengusik saat rombongan itu secara berkala melewati alas tidurku. aku mulai curiga ada sesuatu dibawah alas tidur ku. sempat terfikir untuk mengadakan pembersihan total suatu saat nanti. apalagi aku baru saja luluran beberapa hari sebelum ini. meninggalkan rasa lengket di lantai yang belum dibasuh dengan kain pel. meski, jadwal pembersihan total itu sendiri aku tak pasti.

siang ini, setelah makan siang dengan lauk urap yang luar biasa pedas, aku merasa kembali ngantuk. (come on, padahal aku baru bangun jam 11.30 hari ini). berniat ingin kembali merebahkan badan. kembali kulihat hiliran semut itu. sempat berfikir yang tidak-tidak. khawatir menemukan bangkai sesuatu yang membuat pasukan itu rajin bergerombol ke tempat ku. (aku pernah menemukan bangkai tikus pada alas tidur di rumahku dulu. benar-benar peristiwa horor!)

dengan rasa horor bercampur gemas ku singkap alas tidur yang terdiri dari tumpakan dua kasur lipat. dan aku mulai bergidik melihat pasukan semut yang nauzubillah banyaknya. gosh! rupanya mereka telah membuat rumah di bawah alas tidur ku. dan rumah mereka berawal dari kardus yang menjadi dasar alas tidurku.

hampir setahun lalu aku mendapat kiriman kulkas dari seseorang yang tak perlu kau tau lebih jauh. kulkas dengan kapasitas 120 liter (kalau tak salah) ku letak di ruang belakang. berdampingan dengan ruang cuci piring dan kamar mandi. aku sempat bingung dimana menyimpan kardus pembungkus yang lumayan tebal itu. ide brilian datang dari ibu kos ku yang menyarankan untuk dijadikan dasar buat alas tidur ku. "biar tambah anget", katanya.

aku sepakat dan mengagumi sarannya yang terbukti manjur itu. kebetulan pula ukurannya pas dengan alas tidur ku. sampai terjadi peristiwa horor itu.

beberapa hari sebelumnya aku sempat tak nyaman dengan bau apek yang kadang muncul saat aku menggulingkan tubuhku di sudut ruangan. mengganggu nyenyak tidurku. sementara aku tak tau dari mana sumber bau apek itu. awalnya sempat menduga bau apek itu berasal dari laba-laba yang secara berkala juga mampir dan membuat rumah di sudut-sudut ruanganku. aku sudah membersihkannya. entah karena sugesti, bau apek itu sempat hilang dari penciuman ku.

tapi beberapa hari ini bau apek itu kembali menyeruak. seingatku, aku pernah membersihkan alas tidur ku beberapa waktu lalu. sudah lama memang. seingat ku pula, tak ku temukan sesuatu yang mencurigakan saat itu.

aku memang sering merasa tak nyaman dengan ruang tidur ku yang sekarang. lembab (aku pernah mengeluhkan hal ini sebelumnya bukan?). namun, kardus lapuk (aku hampir dapat memastikan salah satu penyebabnya adalah lantai yang belum kering benar saat aku kembali merapikan alas tidur ku beberapa waktu yang lalu) yang akan menjadi sarang bagi ratusan bahkan mungkin juga ribuan semut benar-benar tak pernah terbayangkan oleh ku. aku termenung-menung sendiri. jadi (entah telah berapa lama) aku tidur bersama pasukan semut itu. mereka memang tak terlalu mengganggu ku. beberapa sempat melintas tubuh ku. tapi bisa aku libas dengan kibasan tangan. tak ada serangan balik. menggigit atau masuk ke lubang-lubang yang ada dalam tubuh ku. mungkin mereka tau aku masih hidup. aku hampir pasti, bila aku telah menjadi mayat tak akan ada bedanya aku dengan bangkai cecak atau kecoa yang tak lagi utuh karena telah dipenuhi oleh pasukan mereka.

Monday, June 04, 2007

Roman Picisan

Hari ini tak satu pun panggilan atau sms masuk ke handpone ku. Senyap. Aku memang tak punya banyak teman. Tak juga punya hubungan khusus dengan seseorang yang membuat ia begitu rindu untuk menghubungiku. Dan kesunyian itu membunuhku pelan-pelan. Meski tetap berusaha ku tepis dengan upaya-upaya keras membesarkan hati sendiri.

Sebagai bagian dari membunuh sepi dan membesarkan hati itu aku nonton sendiri. Ini bagian dari aktifitas rutin sebenarnya. Menonton di hari senin demi mendapatkan tiket yang lebih murah. Dan 99%-nya kerap ku lakukan sendiri. Termasuk menebalkan perasaan saat melihat para pasangan yang asyik masyuk sendiri.

Tebalnya perasan itu kerap terkikis saat aku memasuki momen berikutnya. Makan malam sendiri. Aku sering tak mampu lagi memanipulasi diriku sendiri. Telah ku upayakan untuk mencari teman untuk aktifitas ini. Namun sebagaimana sudah aku bilang, teman ku tak banyak. Dan aku lebih sering mendapati kegagalan disbanding kesuksesan saat mengajak teman ku yang tak banyak itu untuk sekedar menghabiskan waktu beberapa menit melakuakn aktifitas makan malam bersama.

Lalu kau pun bisa menebak aku akan menyusuri jalan pulang sendirian. berjalan melewati rute yang biasa ku tempuh. Kadang aku menikmatinya. Sebagaimana kau tau aku tak begitu suka dengan kebisingan. Aku akan memilih diam dan menyendiri di tengah keriuhan. Aku sangat membatasi segala bentuk komunikasi bahkan dengan orang tuaku sendiri. Aku sering tak mampu mengungkapkan pikiran dan perasaanku pada orang lain dengan baik. Namun kenikmatan itu kadang ada batasnya. Dan kerinduan untuk berbagi perasaan dengan orang lain secara intim kerap menyobek-nyobek emosiku sendiri. Menumpahkan airmata.

Ah, berapa banyak orang seperti aku? Para jomblo kesepian dengan sederet keterbatasan yang tak mampu dipecahkan?

Announcement *

Tepat 10 april lalu usia 30 ku jelang. Ada kekhawatiran sendiri mengingat usia biologis perempuan untuk punya anak terbatas. Aku bisa saja kukuh dengan pendirian pura-pura tegar ku untuk tak perlu peduli dengan sindiran kiri kanan dan mempersiapkan diri untuk tetap melajang. Dan adopsi anak bila perlu (kau pasti tau betapa banyaknya anak terlantar di negera bodoh ini). Tapi, sebagaimana kau duga, rasa cemburu terhadap pasangan-pasangan atau teman angkatan yang entah sengaja atau tidak pamer kemesraan dengan keluarga kecil mereka kerap menonjok perasaan ku. Mengendap dalam pikiran dan membangun cerita sedih pada malam-malam tak bisa tidur ku.

Ya, ya, aku juga bisa bilang bahwa aku pernah mencoba menjalin hubungan. Yang kalau mau dihitung secara acak berjalan hampir lima tahun. Sudah bisa menghasilkan seorang anak yang sedang lucu-lucunya kalau mau. Tapi aku tak ingin lagi mengingat-ingat masa lalu. Aku, seperti yang pasti bosan kau dengar, ingin memutus kenangan itu. Bertemu orang baru yang mengajak ku menjelang hidup baru.

Bagaimana pun aku ingin mendapatkan yang terbaik untuk hidupku. Termasuk harapan ditemukannya laki-laki yang tepat untuk ku. The right man on the right place. Sorry to say, kalau aku tetap idealis untuk mendapatkannya. Meski aku tak tau harus mencari kemana. Pasang iklan atau gabung di biro jodoh, aku tak punya cukup nyali. Mengaku pada orang bahwa mendapat pasangan menjadi salah satu prioritas ku saat ini saja aku tak berani (demi menunjukkan idealisme ku, aku juga perlu bilang bahwa ada prioritas lain dalam agenda hidup ku saat ini. Memantapkan karir dan going abroad tentu).

Maka, harapan untuk mendapat laki-laki impian itu sudah kau duga hanya sebatas penghias mimpi malam yang segera buyar siang saat aku bangun dan merasakan perut yang minta diisi. Aku hanya mampu membangun harapan bahwa akan ada saat dimana aku akan bertemu dengannya dan berkata “ I do”.

*Judul diatas tadinya dimaksudkan sebagai pemasangan iklan tentang kejombloanku. Tapi membaca isinya aku sendiri merasa tidak pada tempatnya judul itu diterapkan. Mungkin “Pangeran Impian” lebih pas. Tapi rasanya terlalu klise dan agak-agak teenlit gitu.

Tuesday, January 02, 2007

Mati (lagi)

saat hiruk pikuk orang omong soal tahun baru yang baru beberapa jam aja lewat,
saat para paranormal kembali jadi bintang untuk didengar ramalan-ramalannya,
saat stasiun teve lagi banyak-banyaknya muter film-film box office, breaking news itu datang.

aku membacanya lewat headline text yang dipasang sctv saat mereka muter film abg "catatan akhir sekolah" yang aku tonton secara berselang-seling dengan "johnny english"-nya trans teve. pesawat adam air diberitakan hilang kontak pada senin malam itu. segera aku membayangkan para penumpang yang panik tak tau apa yang tengah terjadi pada penerbangan mereka. mereka mungkin saja telah tenggelam di samudera luas dan baru akan ditemukan bangkai-bangkainya kemudian. atau terdampar di hutan belantara dengan persediaan yang minim. (segera kubayangkan cuaca dingin di tengah hujan yang menggigit dan service pesawat yang menyakitkan).

kembali aku bayangkan cita-cita angot-angotanku bila aku tengah merasa tak punya daya hidup untuk pergi ke suatu tempat tanpa pernah kembali. tapi aku yakin bukan peristiwa seperti itu yang aku inginkan.