Wednesday, November 29, 2006

It is Refresh Me up

thx to gave beautiful moment this night, cam... .

Nawal el-Sadawi

Tak percaya akhirnya aku berhasil bertemu dengan pengarang yang aku kagumi itu. Tadinya aku malah tidak berfikir bahwa ia masih hidup (pikiranku pasti dikacaukan dengan pengarang dari mesir lainnya, najib mahfouz, yang telah pergi beberapa bulan lalu. Pikiran bodoh sekaligus memalukan). Aku menemuinya dalam suatu acara yang sangat kebetulan. Saat aku begitu suntuk dan butuh “sekedar bahu untuk menangis” berharap ada jalan keluar. Lalu aku kontak lisa temanku. Meski aku tau, tak ada teman yang benar-benar bisa kita harapkan saat kita punya masalah. Ingat motto ku selalu kan? Semua orang punya kesibukan dan masalahnya sendiri-sendiri.

Lisa memang sempat menerima teleponku, meski saat aku tanya,”lu sibuk? bisa ketemuan?" Ia tanpa sungkan-sungkan menjawab, "iya sih". Dan telepon sempat terdiam beberapa saat karena ia harus menemui tamunya di seberang sana, menurut pengakuannya.
"Tapi… kalo lu mau, kita bisa ketemuan ntar malam, gue ada janji nemenin temen gue dari Jordan. Lu gabung aja", tutupnya mencoba membesarkan hatiku.

Aku sempat menolaknya. Buat apa aku berada ditengah orang-orang yang tengah klangenan? Lagipula aku butuh privasi untuk membicarakan masalahku. "Gue butuh ketemu sekarang lis, gak mesti sama lu sih, tapi sama mbak tati. Soal fiscal gue", desakku mengungkap masalah yang sempat bikin aku sumpek dan jutek beberapa hari belakangan ini. Soal ada apa dengan fiscalku itu sendiri rasanya tak ingin aku perpanjang pada judul ini. Pada judul lain mungkin. Meski aku tak janji.

“Lu datang aja ntar sore di galeri nasional, ada Nawal disana,” kembali lisa memberi alternatif.

***
Awalnya aku tak jelas dengan acara ini. Ku pikir ini acara yang sekedar membahas buku-buku Nawal tanpa pernah menghadirkan secara langsung pengarangnya. Meski tetap aku niatkan untuk datang. Tujuan pertama tentu bisa bertemu tati dan ia bisa menjadi malaikatku sore itu. Meski aku tau ini harapan yang sangat berlebihan dan praduga itu terbukti benar. Tujuan lainnya tentu mencari udara lain. Keluar dari kantor dan rutinitas sejenak agar dapat sedikit melupakan masalah yang tengah aku hadapi. Tujuan ini ternyata lebih ampuh dari sekedar dugaanku sendiri.

Aku datang telat. Sempat jutek dengan sapaan penerima tamu yang menurutku sangat tidak sopan. Padahal ia jelas lebih tua dari aku. Perempuan pula. Dan mungkin pula aktifis. (lalu apa hubungannya?)

"Dari mana mbak?," tanyanya.

"Demos", jawabku.

"Oh… disini", lanjutnya sambil menunjuk pada buku tamu yang dikhususkan bagi media.

"Saya bukan dari media mbak. Dari LSM. Demos", jawaku mengulang ucapanku semula.

"o… anak buahnya…."

"Asmara nababan," kataku memotong kiraanya

"Anak buahnya boni ya?", tuduhnya tanpa menghiraukan jawabanku sebelumnya

"Padahal kita ngundang mas boni lho… eh, yang dateng anak buahnya…"

Aku menahan diri sambil berusaha dengan tenang menulis nama dan alamat kontakku. Padahal betapa inginnya aku membalas perkataannya, "dengar ya mbak, boni gak pernah bilang ada acara apa-apa tuh. Dan saya bukan anak buahnya…", batin ku geram. Arrrgghhh....!!! hari gini ngomong istilah anak buah?!

Ingin sekali aku tambahkan kegeramanku lebih panjang lagi, "saya di demos lebih lama dari boni jadi mungkin ia lebih pantas jadi anak buah saya, tapi kita semua teman. Bukan subordinasi".
Tapi semua geraman itu aku tentu saja tetap aku simpan dalam hati. Aku tetap tenang sambil menyerahkan kartu namaku saat penerima tamu yang perempuan senior itu memintanya (see? Aku berhasil bertindak dewasa kali ini bukan?)

Aku masuk ruangan dengan peserta yang pikuk. Kebanyakan perempuan. Dari beberapa generasi. Ninuk Mariana Pambudy baru saja menyelesaikan uraiannya tanpa pernah aku tau apa isinya. Mataku segera menangkap sosok itu. Duduk ditengah diantara para pembicara. Berambut perak dengan kuncir kuda tersisir rapi. Semua putih. Mengingatkan aku pada rambut Adnan Buyung Nasution. Kemeja yang dikenakannya pun berwarna putih. Lengan pendek dengan garis vertical berwarna merah muda. Wajahnya kelihatan bersahaja. Segera ku cari tempat duduk saat aku tau aku belum tertinggal untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya.

Then she became the only one star on the stage. Pernyataan-pernyataannya begitu memukau. Menggairahkan semangat hidup. Mengingatkanku pada Pram. Juga kesamaan keduanya pada ketuliannya. Sehingga setiap penanya harus berdiri mendekat dengannya dan menggunakan mikropon.

Audiens begitu bersemangat bertanya padanya. Dan semua pertanyaan dijawabnya dengan jawaban-jawaban yang sangat memukau. Aku hanya sempat mengingat dan mencatat beberapa saja.

"Nawal, bagaimana mungkin kita selamanya menjadi pemberontak, seperti prinsip anda, padahal dalam hidup selalu ada aturan-aturan yang tak bisa kita lampaui?", gugat penanya petama yang langsung diresponsnya dengan senang.

"Good question. I already get this question in every place I go", katanya sambil tersenyum…."maka berkreasilah. Be creative. Creativity is change the rules. Make a new rules. Jangan selalu tunduk pada peraturan-peraturan yang mengekang kita". Begitu kira-kira jawabannya.

Lalu saat ditanya soal pendidikan?
"Education dependent on political system. If system good, education will be good and we don’t need pay to our education. That’s our basic need" yang langsung di timpali dengan tepuk tangan audiens.

Pertanyaan lain dari Jajang C. Noer yang tampaknya menyempatkan diri untuk hadir (aku beberapa kali bertemu dengannya pada acara-acara diskusi tentang perempuan),
"pandangan anda untuk tidak tergantung pada siapapun, termasuk suami, agar kita bisa berfikir dan bertindak merdeka, menjadi tambahan referensi bagi saya, hal lain yang ingin saya tanyakan adalah, sebagai muslim apakah anda shalat?"

Secara diplomatis ia menjawab, "dalam kepercayaan asli masyarakat Mesir kami mengenal dua bentuk tuhan. Laki-laki dan perempuan. Dari sanalah kita mengenal konsep-konsep penciptaan dan pemeliharaan alam. Namun agama-agama besar seringkali mereduksinya menjadi tuhan laki-laki yang sangat berkuasa dan kita menjadi takut padanya. Menjadi harus tunduk padanya dengan segala keterpaksaan. Ini agama yang sungguh-sungguh maskulin dan saya kira kita bebas untuk menentukan apakah kita harus merasa takutnya atau tidak".

Jawaban menarik lainnya dan sangat diluar dugaan buatku adalah saat ditanya, "apa pendapat anda terhadap profesi full time mother?"
Ia dengan tangkas menjawab, "anda harus tau, dan seharusnya kita semua sadar, tidak ada istilah full time mother atau father, karena anak butuh space bagi dirinya sendiri. Jangan dikira anak-anak butuh selamanya diawasi atau didampingi. Mereka butuh ruang bagi dirinya sendiri. Beri mereka kebebasan". sebuah jawaban yang segera mendapat tepuk tangan audiens. Riuh.

Aku menyukai jawaban-jawabannya yang tak terduga. Dan sempat menimbulkan rasa penasaranku untuk bertanya langsung padanya. Meski kesempatan itu tak pernah ada. Panitia merasa punya kewajiban untuk membatasi waktu dengan alasan kesehatannya. Nawal sendiri tampak telah mengisyaratkan hal itu. Meski ia tetap memberi kesempatan bagi siapapun yang tidak diberi kesempatan bertanya lagsung untuk mengirimkannya lewat emailnya.

aku berhasil mendapatkan alamat emailnya. Secara langsung. Atas tulisan tangannya sendiri. Dengan perjuangan yang tidak ringan. Menerobos kerumunan orang-orang yang ingin mendapatkan tanda tangan atas buku-bukunya, para wartawan yang entah dari mana asalnya yang masih mencecarnya dengan banyak pertanyaan, dan usiran panitia untuk membubarkan kerumunan dan memberi ruang bagi Nawal untuk beristirahat. Aku sempat berjanji pada diriku sendiri untuk berkorespondensi dengannya nanti. Meski kau pasti tau, niatan itu tak juga kesampaian sampai hari ini.

***
Kalau kau tanya apa yang akan aku tanyakan padanya bila kesempatan itu ada, aku akan bertanya apa arti penderitaan baginya, dan bagaimana ia berhasil melampaui semua rasa sakit itu?
Meski aku bisa menduga apa jawabannya. Pasti ia akan menjawab, menulis. Buatlah menulis sebagai terapi sekaligus pengobatan bagi rasa sakitmu. Seperti yang telah ia lakukan pada puluhan karya-karyanya. Seperti yang tengah aku lakukan saat ini. dan aku akan kembali menambahkan jawabnya, biasanya orang akan begitu productive, akan menghasilkan karya monumental saat ia berada dibawah tekanan.

Jadi peliharalah rasa sakit itu. Agar kau tau apa arti berjuang dan menghasilkan karya-karya monumental karenanya.

Bank Budi

Sebarkanlah kebaikan maka kau akan mendapatkan balasan lebih dari kau kira.

Betapa ingin aku selalu bisa berbuat baik. Setiap saat. Setiap waktu. Tapi setan selalu ada dalam hatiku. Maka jangan heran bila aku lebih sering menjadi orang yang pelit luar biasa dan penuh perhitungan ketimbang orang yang selalu beramal. Jangan pernah berharap kau akan bisa dengan mudah meminjam sesuatu padaku. Entah uang atau barang. Karena pasti aku akan punya beribu alasan untuk tak memberinya, padahal, aku juga ingat, “ingat pesan ibu ya, beramal jangan nunggu banyak uang,” kata ibu angkatku di suatu malam saat tumben-tumbennya aku mengunjunginya setelah entah berapa lama aku tak pernah ke rumahnya.

***
"Jangan lupa aura positip ya bo, senyum dong…", pesan teman yang baru saja aku kenal tapi kami jadi begitu akrab, lewat pesan pendek yang dikirimnya di suatu pagi. Mengingatkan kembali aku. Menyegarkan kembali pikiranku, padahal malam sebelumnya telah ku habiskan berlembar-lembar tisu atas masalah yang tak pernah kubagi pada siapapun. Tidak juga pada teman yang baru saja aku kenal itu. Ia mungkin saja iseng mengirim sms sekedar keep in touch atas kedekatan kami beberapa hari lalu.

Istilah "aura positif" sendiri kami, aku dan dia, dapatkan hasil dari obrol-obrol kami pada makan malam acara perkenalan kami di cipanas beberapa waktu lalu. Semua peserta rata-rata baru kenal saat itu. Dan kau tau, karena tempat menginap peserta dibagi atas dua kelompok, laki-laki dan perempuan, segera saja terbentuk ikatan yang kuat diantara kelompok-kelompok itu. Aku sekamar dengan Emi staf YLBHI, Rani dari ICEL, dan mbak Endang dari PPSW yang baru bergabung keesokan harinya.

Emi, perempuan bertubuh kecil yang ku kira usianya masih dibawahku tapi ternyata telah memiliki anak bersekolah tingkat dasar, dan berselisih usia 3 tahun lebih tua dari aku, memiliki sikap yang matang dan sangat keibuan. Ia banyak bercerita tentang kebajikan-kebajikan hidup yang kadang kami respon dengan guyonan dan sindiran diantara kami. Kami, aku dan rani (yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku), perempuan-perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun.

Dari emi pula kami dapatkan "aura positif" itu. Ia sendiri bercerita istilah itu didapatnya dari guru ngaji anaknya saat mereka saling curhat tentang kehidupan. Masih menurut ceritanya, bila kita berbuat baik sedikit saja maka alam akan menyimpannya dan menyebarkannya pada orang-orang disekitar kita. hingga tanpa pernah kita sadari balasan kebaikan akan kita terima. bahkan mungkin lebih dari yang kita duga. sebaran yang juga diperbantukan alam inilah yang kemudian diistilahkan dengan "aura positif". Tapi bukan emi yang mengirim pesan pendek pagi itu. melainkan perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku yang telah menyegarkan pikiranku pagi itu.

***
Di bagian-bagian awal karya terjemahan terbaru salah satu pengarang favoritku, Paulo Coelho, “Zahir”, yang belum sepenuhnya habis aku baca, ia sempat menyebut istilah “bank budi”. Tampaknya ini juga istilah sindiran bagi sang tokoh (karena sikapnya yang kadang berantakan) dari salah satu temannya. Akan kukutipkan beberapa kalimat untukmu. Berupa percakapan antara sang tokoh dan teman baiknya itu. (Gosh, batapa seriusnya aku hingga aku perlu menulis kembali terjemahan dari buku itu meski tak sepenuhnya kalimat bersedia kuketik untukmu. Beberapa malah mengalami pengeditan sesuai seleraku).

“Istilah itu dikenalkan pertama kali oleh seorang penulis Amerika. Bank budi adalah bank paling kuat di dunia, dan kau bisa menemukannya di setiap aspek kehidupan.”

“….Aku mulai menyimpan direkeningmu bukan simpanan uang tetapi kontak. Kukenalkan kau pada orang ini dan itu, mengatur perjanjian-perjanjian, dan kau tau kau berutang budi padaku, tapi aku tak pernah minta apapun dari mu.”

“Dan suatu hari, aku akan minta tolong padamu dan kau bisa saja mengatakan ‘Tidak’, tapi kau sadari bahwa kau berutang budi padaku. Kau lakukan apa yang ku minta. Aku terus membantumu, dan orang-orang lain melihat kau orang yang tau membalas budi, jadi mereka pun mulai menyimpan direkeningmu –selalu dalam bentuk kontak, karena dunia ini hanya terdiri atas kontak, tidak ada yang lain lagi. Mereka pun pada suatu hari akan minta bantuan padamu, dank au akan menghormati dan membantu orang-orang yang pernah membantumu, dan pada saatnya, jaringanmu akan melebar ke seluruh dunia, kau akan kenal semua orang yang pernah kau kenal, dan pengaruhmu akan tumbuh semakin besar.”

“Aku bisa saja menolak permintaanmu.”

“Tentu saja. Bank budi adalah investasi yang berisiko, sebagaimana bank-bank lain. Kau bisa menolak permintaan bantuanku, karena kau pikir aku membantumu karena kau memang wajib dibantu, karena kau yang terbaik dan semua orang harus mengakui bakatmu. Tidak apa-apa, aku akan mengucapkan terima kasih banyak dan minta tolong pada orang lain yang juga berutang budi padaku, tapi mulai saat itu, semua orang tau, tanpa perlu kuucapkan sepatah katapun, bahwa kau tak bisa dipercaya.”

“Potensimu tidak akan tumbuh maksimal, dan pasti tidak sebesar yang kau inginkan. Pada suatu titik, hidupmu mulai menurun, kau turun separuh jalan, tidak sampai ke dasar. Kau akan setengah bahagia, setengah merana, tidak frustasi tapi juga tidak terpuaskan. Kau tidak panas dan tidak dingin. Hanya suam-suam kuku. Dan seperti kata seorang pengkhotbah dalam buku sucinya: ‘makanan yang suam-suam kuku tidak menimbulkan selera’…”

Kau boleh saja setuju dan tidak (terutama pada kalimat terakhir kutipan sang pengkhotbah itu, karena tentu saja aku pun akan memilih menunggu makanan menjadi suam-suam kuku ketimbang lidahku tersiram kuah panas). Tapi tentu kau tau apa yang ingin kumaksud dalam penggalan-penggalan kalimat yang telah kutulis itu.

Bank budi, aura positif, beramal jangan menunggu sampai kau banyak uang…

(aku tak ingin menjadi pengkhotbah dengan kalimat penutup seperti ini, yang kelihatannya juga anti klimaks, aku hanya tak tau bagimana menutup tulisan ini secara klimaks…)

Ingin Memenggal Kepala Ayah

Ini judul cerpen yang pernah ditulis temanku. Meski aku tak ingat betul apa isinya dan telah dimuat di media apa. Tapi judul ini seringkali begitu pas dilekatkan pada kebencianku pada ayahku sendiri. Seperti malam itu. Saat aku begitu tak bisa menguasai diri saat aku tau kaligrafi yang telah begitu susah payahnya dibuat adik bungsuku di waktu liburannya dari pondok pesantrennya di jombang dan menghasilkan karya yang lumayan menarik dipandang mata dengan semena-menanya dipotong sesuai kemauannya. Kemarahanku semakin mengkal saat aku tau potongan itu sangat tidak asimetris. Tak mungkin disambungkan lagi karena perlu tambalan disana sini. Sangat mengurangi estetika. Padahal aku telah berniat akan memajangnya di kamar kos ku nanti.

Kau tau apa sangkalannya saat aku meradang tentang hal ini, ia dengan enaknya menjawab, sengaja dipotong karena tak pas dengan ukuran kaca jendela. Gosh, kau tau dimana ia memasang kaligrafi ini setelah sekian lama aku tak pulang? Di kaca jendela depan. Adikku yang lain malah sempet mengejek, "banyak yang ngirain bapak lagi pasang iklan lowongan pekerjaan tuh…."

Sambil menahan marah dan tangis aku sempat berkata padanya, "Pak, jangan melakukan hal-hal semaunya sendiri. Minta pertimbangan orang lain. Orang yang bikin pasti marah kalau tau karyanya dipotong seenaknya kayak gini. Hargai karya orang."

Sudah dapat diduga ia tak akan pernah menerima pendapatku. Pendapat siapapun. Dan aku lah teman bertengkarnya sejati selama ini. Itu sebabnya aku tak pernah betah lama-lama tinggal di rumah. Selalu ada masalah yang akan kami ributkan. Dan aku paling tak tahan dengan sikap dan pandangannya yang sering kali aku anggap aneh. Sangat aneh dan seringkali tak bertanggung jawab.

Kegeramanku saat itu kemali memunculkan memori lamaku saat aku baru saja memenangkan lomba antar sekolah beberapa tahun lalu. saat itu aku mendapat hadiah berupa tabungan. Aku tentu saja senang karena itu akan menjadi bekal bagi cita-citaku untuk melanjutkan kuliah. Aku ingat betul hadiah itu seperti anugerah karena aku tengah berada di tingkat akhir sekolah menengah atas dan aku sangat ingin bisa kuliah. Kau perlu tau betapa morat-maritnya kehidupan keluarga kami saat itu (yang sedikit mengalami perubahan saat ini) sehingga sekolah menjadi hal yang luar biasa buat kami. Kakakku sampai harus putus sekolah. Akulah anak pertama di keluargaku yang punya semangat begitu kuat untuk tetap bisa sekolah hingga harus berjualan koran bekas. Aku pula anak pertama yang berhasil mencecap pendidikan begitu tinggi yang tak semuanya diwariskan adik-adikku yang lain. Aku sering kali merasa rapuh mengingat hal ini. Semangatku untuk tetap bisa sekolah seringkali harus aku bayar mahal. Termasuk saat aku tau tabungan hadiah lombaku sebelumnya telah raib diambil ayahku sendiri. Untuk modal usaha katanya. Dan aku tak pernah tau usaha apa. Yang aku tau semua usahanya tak pernah ada yang sukses. Hingga rumah kami satu persatu tergadai dan kami harus berpindah tempat tinggal dari satu rumah kontrakkan ke rumah kontrakkan yang lain hingga kini. Menyisakan kesusahan pada ibuku yang harus meminjam uang ke sana kemari demi kelangsungan hidup kami. Termasuk bekal awal kuliahku yang telah raib dicuri.

Aku akan dengan mudah menunjuk siapa biang keladi kesusahan ini. Tentu saja ayahku yang menurutku tak pernah bertanggung jawab atas kelengsungan hidup keluarganya. Aku pernah menggugat pada ibuku kenapa begitu setia padanya dan melayani semua kebutuhan-kebutuhannya meski kami semua telah memiliki krisis kepercayaan padanya. Aku tak ingat betul apa jawabnya. Tapi satu hal yang mungkin patut dibanggakan dari ayahku ialah ia laki-laki yang setia. Menurut ibuku ia tak pernah kedapatan selingkuh dengan siapapun meski ia punya bakat untuk itu. Konon, kakek dari ayahku adalah "don juan" sejati. Istrinya ada dimana-mana. Ayahku termasuk salah satu anak entah dari istri yang ke berapa yang ditinggal begitu saja sampai akhirnya nenekku memutuskan untuk menikah lagi dengan orang lain. Mungkin kepahitan hidup menjadi anak tiri telah membuatnya kukuh untuk setia pada keluarga nanti.

Tapi apa yang dilakukannya kemudian? Ia mungkin saja setia, dan kami boleh bangga atas hal itu, namun aku tetap akan menilai ia kepala keluarga yang tak punya cukup tanggung jawab untuk menyejahterakan keluarganya. Ia hanya pandai memproduksi anak yang akan dilahirkan ibuku setiap dua tahun sekali dan total menghasilkan 8 anak, minus kakak keduaku yang mati saat masih bayi. Tapi seringkali tak ambil peduli pada masalah anak-anaknya. Membuat aku seringkali menggugat, hey, engkaulah penyebab aku lahir di bumi ini. Mengapa kau jadikan aku dulu?

Kebencianku pernah sampai terbawa dalam alam bawah sadarku dan aku pernah bermimpi memenggal kepalanya yang ku kira kepala seekor ayam jantan. Mimpi horror. Membuat aku ketakutan sendiri. Mimpi yang telah lama sekali. Mimpi itu terjadi jauh sebelum aku kenal temanku yang kemudian menulis judul cerpen yang persis sama dengan mimpiku dulu. Dan aku tak pernah mencerikan mimpiku kepada siapapun. Tidak juga pada ucu temanku yang cerpenis itu. Bila ia tiba-tiba mempuntai inspirasi yang sama, mudah diduga kau akan tau jawabannya, itu hanya kebetulan semata….

Aku Tidak Ingin Menikah

Jadi jangan kau tanya, kapan?

Tuesday, November 07, 2006

Speech.. Speech.. Speech...

gue selalu kesulitan untuk berbicara secara runut dan sistematis. apa yang ada di kepala selalu berbeda dengan kata yang kemudian terlontar. apa yang tampaknya mudah dan dengan begitu rapinya tersusn dalam otak gue tiba-tiba menjadi kacau-balau ketika gue berbicara. semua jadi begitu amburadul. gue jadi bicara tak keruan dan sering tersesat ditengah ucapan gue sendiri.

gue selalu kagum pada orang-orang yang mempunyai kemampuan presentasi yang baik. yang mampu berbicara dengan gaya yang enak, runut, dan sistematis. percayalah, gue selalu berusaha untuk bisa melakukannya. tapi kau tau, tak pernah berhasil. gue selalu bicara dengan cepat, tak fokus, dan gue hanya bisa menyesal diam-diam saat kesempatan buat gue berbicara selesai. "kenapa jadi begini...........?" "kenapa yang gue omong tadi begitu jauh dengan apa yang sebelumnya sudah susun dikepala?"

ah, rasanya ini berhubungan pula dengan kelemahan gue yang lain. yang selalu tak bisa fokus, lemah dalam mengingat hal yang detil, dan paling pusing kalau disuruh hitung-hitungan.

so, what's your ability, madam...?

Monday, November 06, 2006

Going Abroad

baru tiba dari doha, qatar, menghadiri seminar internasional yang wah banget... (cerita detilnya nanti aja). ketemu beragam orang dengan beragam pesonanya. gue semakin merasa gak ada apa-apanya. semakin terpecut untuk mengakrabi bahasa asing. memahiri bahasa inggris gue yang gak becus-becus sampe hari gini, mempelajari bahasa lain (sempet menyesal mengapa begitu cuek dengan bahasa arab yang sempat gue pelajari dasar-dasarnya dulu?), karena gue cuma bisa terkagum-kagum dengan orang yang begitu lancarnya berbahasa asing lebih dari dua bahasa dan bahasa ibunya (di konferensi ini bahasa yang digunakan selain inggris adalah arab, perancis, dan spanyol).

sempet ketemu temen yang aslinya "wong jowo" tapi berkantor di genewa, yang kangen banget makan tempe (sampe segitunya), yang bahasa inggrisnya ngalir kayak air sementara setting di ponselnya pake bahasa perancis (pusing!). atau saat ngobrol di acara sarapan yang hangat dengan seorang dosen perempuan di irak, yang cantik dan pintar, yang bahasa ibunya tentu saja bahasa arab, dan tentu saja bahasa inggris yang terjaga, lalu tak canggung menyapa teman dari salah satu negara di afrika dengan sapaan perancis dan gue cuma bisa bilang, "i don't understand.." sambil tertawa, dia cuma menjawab, "khomsi.. khomsi.."

ah, ah, buka mata, buka telinga, ini jamannya gobal bung, atau kau akan tertinggal.
dan gue cuma bisa berharap semoga ini bukan kepergian yang pertama dan terakhir...
dan tiba-tiba gue ingin punya rumah dengan ruang pribadi dan kamar mandi ber-bath tub...