Wednesday, November 29, 2006

It is Refresh Me up

thx to gave beautiful moment this night, cam... .

Nawal el-Sadawi

Tak percaya akhirnya aku berhasil bertemu dengan pengarang yang aku kagumi itu. Tadinya aku malah tidak berfikir bahwa ia masih hidup (pikiranku pasti dikacaukan dengan pengarang dari mesir lainnya, najib mahfouz, yang telah pergi beberapa bulan lalu. Pikiran bodoh sekaligus memalukan). Aku menemuinya dalam suatu acara yang sangat kebetulan. Saat aku begitu suntuk dan butuh “sekedar bahu untuk menangis” berharap ada jalan keluar. Lalu aku kontak lisa temanku. Meski aku tau, tak ada teman yang benar-benar bisa kita harapkan saat kita punya masalah. Ingat motto ku selalu kan? Semua orang punya kesibukan dan masalahnya sendiri-sendiri.

Lisa memang sempat menerima teleponku, meski saat aku tanya,”lu sibuk? bisa ketemuan?" Ia tanpa sungkan-sungkan menjawab, "iya sih". Dan telepon sempat terdiam beberapa saat karena ia harus menemui tamunya di seberang sana, menurut pengakuannya.
"Tapi… kalo lu mau, kita bisa ketemuan ntar malam, gue ada janji nemenin temen gue dari Jordan. Lu gabung aja", tutupnya mencoba membesarkan hatiku.

Aku sempat menolaknya. Buat apa aku berada ditengah orang-orang yang tengah klangenan? Lagipula aku butuh privasi untuk membicarakan masalahku. "Gue butuh ketemu sekarang lis, gak mesti sama lu sih, tapi sama mbak tati. Soal fiscal gue", desakku mengungkap masalah yang sempat bikin aku sumpek dan jutek beberapa hari belakangan ini. Soal ada apa dengan fiscalku itu sendiri rasanya tak ingin aku perpanjang pada judul ini. Pada judul lain mungkin. Meski aku tak janji.

“Lu datang aja ntar sore di galeri nasional, ada Nawal disana,” kembali lisa memberi alternatif.

***
Awalnya aku tak jelas dengan acara ini. Ku pikir ini acara yang sekedar membahas buku-buku Nawal tanpa pernah menghadirkan secara langsung pengarangnya. Meski tetap aku niatkan untuk datang. Tujuan pertama tentu bisa bertemu tati dan ia bisa menjadi malaikatku sore itu. Meski aku tau ini harapan yang sangat berlebihan dan praduga itu terbukti benar. Tujuan lainnya tentu mencari udara lain. Keluar dari kantor dan rutinitas sejenak agar dapat sedikit melupakan masalah yang tengah aku hadapi. Tujuan ini ternyata lebih ampuh dari sekedar dugaanku sendiri.

Aku datang telat. Sempat jutek dengan sapaan penerima tamu yang menurutku sangat tidak sopan. Padahal ia jelas lebih tua dari aku. Perempuan pula. Dan mungkin pula aktifis. (lalu apa hubungannya?)

"Dari mana mbak?," tanyanya.

"Demos", jawabku.

"Oh… disini", lanjutnya sambil menunjuk pada buku tamu yang dikhususkan bagi media.

"Saya bukan dari media mbak. Dari LSM. Demos", jawaku mengulang ucapanku semula.

"o… anak buahnya…."

"Asmara nababan," kataku memotong kiraanya

"Anak buahnya boni ya?", tuduhnya tanpa menghiraukan jawabanku sebelumnya

"Padahal kita ngundang mas boni lho… eh, yang dateng anak buahnya…"

Aku menahan diri sambil berusaha dengan tenang menulis nama dan alamat kontakku. Padahal betapa inginnya aku membalas perkataannya, "dengar ya mbak, boni gak pernah bilang ada acara apa-apa tuh. Dan saya bukan anak buahnya…", batin ku geram. Arrrgghhh....!!! hari gini ngomong istilah anak buah?!

Ingin sekali aku tambahkan kegeramanku lebih panjang lagi, "saya di demos lebih lama dari boni jadi mungkin ia lebih pantas jadi anak buah saya, tapi kita semua teman. Bukan subordinasi".
Tapi semua geraman itu aku tentu saja tetap aku simpan dalam hati. Aku tetap tenang sambil menyerahkan kartu namaku saat penerima tamu yang perempuan senior itu memintanya (see? Aku berhasil bertindak dewasa kali ini bukan?)

Aku masuk ruangan dengan peserta yang pikuk. Kebanyakan perempuan. Dari beberapa generasi. Ninuk Mariana Pambudy baru saja menyelesaikan uraiannya tanpa pernah aku tau apa isinya. Mataku segera menangkap sosok itu. Duduk ditengah diantara para pembicara. Berambut perak dengan kuncir kuda tersisir rapi. Semua putih. Mengingatkan aku pada rambut Adnan Buyung Nasution. Kemeja yang dikenakannya pun berwarna putih. Lengan pendek dengan garis vertical berwarna merah muda. Wajahnya kelihatan bersahaja. Segera ku cari tempat duduk saat aku tau aku belum tertinggal untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya.

Then she became the only one star on the stage. Pernyataan-pernyataannya begitu memukau. Menggairahkan semangat hidup. Mengingatkanku pada Pram. Juga kesamaan keduanya pada ketuliannya. Sehingga setiap penanya harus berdiri mendekat dengannya dan menggunakan mikropon.

Audiens begitu bersemangat bertanya padanya. Dan semua pertanyaan dijawabnya dengan jawaban-jawaban yang sangat memukau. Aku hanya sempat mengingat dan mencatat beberapa saja.

"Nawal, bagaimana mungkin kita selamanya menjadi pemberontak, seperti prinsip anda, padahal dalam hidup selalu ada aturan-aturan yang tak bisa kita lampaui?", gugat penanya petama yang langsung diresponsnya dengan senang.

"Good question. I already get this question in every place I go", katanya sambil tersenyum…."maka berkreasilah. Be creative. Creativity is change the rules. Make a new rules. Jangan selalu tunduk pada peraturan-peraturan yang mengekang kita". Begitu kira-kira jawabannya.

Lalu saat ditanya soal pendidikan?
"Education dependent on political system. If system good, education will be good and we don’t need pay to our education. That’s our basic need" yang langsung di timpali dengan tepuk tangan audiens.

Pertanyaan lain dari Jajang C. Noer yang tampaknya menyempatkan diri untuk hadir (aku beberapa kali bertemu dengannya pada acara-acara diskusi tentang perempuan),
"pandangan anda untuk tidak tergantung pada siapapun, termasuk suami, agar kita bisa berfikir dan bertindak merdeka, menjadi tambahan referensi bagi saya, hal lain yang ingin saya tanyakan adalah, sebagai muslim apakah anda shalat?"

Secara diplomatis ia menjawab, "dalam kepercayaan asli masyarakat Mesir kami mengenal dua bentuk tuhan. Laki-laki dan perempuan. Dari sanalah kita mengenal konsep-konsep penciptaan dan pemeliharaan alam. Namun agama-agama besar seringkali mereduksinya menjadi tuhan laki-laki yang sangat berkuasa dan kita menjadi takut padanya. Menjadi harus tunduk padanya dengan segala keterpaksaan. Ini agama yang sungguh-sungguh maskulin dan saya kira kita bebas untuk menentukan apakah kita harus merasa takutnya atau tidak".

Jawaban menarik lainnya dan sangat diluar dugaan buatku adalah saat ditanya, "apa pendapat anda terhadap profesi full time mother?"
Ia dengan tangkas menjawab, "anda harus tau, dan seharusnya kita semua sadar, tidak ada istilah full time mother atau father, karena anak butuh space bagi dirinya sendiri. Jangan dikira anak-anak butuh selamanya diawasi atau didampingi. Mereka butuh ruang bagi dirinya sendiri. Beri mereka kebebasan". sebuah jawaban yang segera mendapat tepuk tangan audiens. Riuh.

Aku menyukai jawaban-jawabannya yang tak terduga. Dan sempat menimbulkan rasa penasaranku untuk bertanya langsung padanya. Meski kesempatan itu tak pernah ada. Panitia merasa punya kewajiban untuk membatasi waktu dengan alasan kesehatannya. Nawal sendiri tampak telah mengisyaratkan hal itu. Meski ia tetap memberi kesempatan bagi siapapun yang tidak diberi kesempatan bertanya lagsung untuk mengirimkannya lewat emailnya.

aku berhasil mendapatkan alamat emailnya. Secara langsung. Atas tulisan tangannya sendiri. Dengan perjuangan yang tidak ringan. Menerobos kerumunan orang-orang yang ingin mendapatkan tanda tangan atas buku-bukunya, para wartawan yang entah dari mana asalnya yang masih mencecarnya dengan banyak pertanyaan, dan usiran panitia untuk membubarkan kerumunan dan memberi ruang bagi Nawal untuk beristirahat. Aku sempat berjanji pada diriku sendiri untuk berkorespondensi dengannya nanti. Meski kau pasti tau, niatan itu tak juga kesampaian sampai hari ini.

***
Kalau kau tanya apa yang akan aku tanyakan padanya bila kesempatan itu ada, aku akan bertanya apa arti penderitaan baginya, dan bagaimana ia berhasil melampaui semua rasa sakit itu?
Meski aku bisa menduga apa jawabannya. Pasti ia akan menjawab, menulis. Buatlah menulis sebagai terapi sekaligus pengobatan bagi rasa sakitmu. Seperti yang telah ia lakukan pada puluhan karya-karyanya. Seperti yang tengah aku lakukan saat ini. dan aku akan kembali menambahkan jawabnya, biasanya orang akan begitu productive, akan menghasilkan karya monumental saat ia berada dibawah tekanan.

Jadi peliharalah rasa sakit itu. Agar kau tau apa arti berjuang dan menghasilkan karya-karya monumental karenanya.

Bank Budi

Sebarkanlah kebaikan maka kau akan mendapatkan balasan lebih dari kau kira.

Betapa ingin aku selalu bisa berbuat baik. Setiap saat. Setiap waktu. Tapi setan selalu ada dalam hatiku. Maka jangan heran bila aku lebih sering menjadi orang yang pelit luar biasa dan penuh perhitungan ketimbang orang yang selalu beramal. Jangan pernah berharap kau akan bisa dengan mudah meminjam sesuatu padaku. Entah uang atau barang. Karena pasti aku akan punya beribu alasan untuk tak memberinya, padahal, aku juga ingat, “ingat pesan ibu ya, beramal jangan nunggu banyak uang,” kata ibu angkatku di suatu malam saat tumben-tumbennya aku mengunjunginya setelah entah berapa lama aku tak pernah ke rumahnya.

***
"Jangan lupa aura positip ya bo, senyum dong…", pesan teman yang baru saja aku kenal tapi kami jadi begitu akrab, lewat pesan pendek yang dikirimnya di suatu pagi. Mengingatkan kembali aku. Menyegarkan kembali pikiranku, padahal malam sebelumnya telah ku habiskan berlembar-lembar tisu atas masalah yang tak pernah kubagi pada siapapun. Tidak juga pada teman yang baru saja aku kenal itu. Ia mungkin saja iseng mengirim sms sekedar keep in touch atas kedekatan kami beberapa hari lalu.

Istilah "aura positif" sendiri kami, aku dan dia, dapatkan hasil dari obrol-obrol kami pada makan malam acara perkenalan kami di cipanas beberapa waktu lalu. Semua peserta rata-rata baru kenal saat itu. Dan kau tau, karena tempat menginap peserta dibagi atas dua kelompok, laki-laki dan perempuan, segera saja terbentuk ikatan yang kuat diantara kelompok-kelompok itu. Aku sekamar dengan Emi staf YLBHI, Rani dari ICEL, dan mbak Endang dari PPSW yang baru bergabung keesokan harinya.

Emi, perempuan bertubuh kecil yang ku kira usianya masih dibawahku tapi ternyata telah memiliki anak bersekolah tingkat dasar, dan berselisih usia 3 tahun lebih tua dari aku, memiliki sikap yang matang dan sangat keibuan. Ia banyak bercerita tentang kebajikan-kebajikan hidup yang kadang kami respon dengan guyonan dan sindiran diantara kami. Kami, aku dan rani (yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku), perempuan-perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun.

Dari emi pula kami dapatkan "aura positif" itu. Ia sendiri bercerita istilah itu didapatnya dari guru ngaji anaknya saat mereka saling curhat tentang kehidupan. Masih menurut ceritanya, bila kita berbuat baik sedikit saja maka alam akan menyimpannya dan menyebarkannya pada orang-orang disekitar kita. hingga tanpa pernah kita sadari balasan kebaikan akan kita terima. bahkan mungkin lebih dari yang kita duga. sebaran yang juga diperbantukan alam inilah yang kemudian diistilahkan dengan "aura positif". Tapi bukan emi yang mengirim pesan pendek pagi itu. melainkan perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku yang telah menyegarkan pikiranku pagi itu.

***
Di bagian-bagian awal karya terjemahan terbaru salah satu pengarang favoritku, Paulo Coelho, “Zahir”, yang belum sepenuhnya habis aku baca, ia sempat menyebut istilah “bank budi”. Tampaknya ini juga istilah sindiran bagi sang tokoh (karena sikapnya yang kadang berantakan) dari salah satu temannya. Akan kukutipkan beberapa kalimat untukmu. Berupa percakapan antara sang tokoh dan teman baiknya itu. (Gosh, batapa seriusnya aku hingga aku perlu menulis kembali terjemahan dari buku itu meski tak sepenuhnya kalimat bersedia kuketik untukmu. Beberapa malah mengalami pengeditan sesuai seleraku).

“Istilah itu dikenalkan pertama kali oleh seorang penulis Amerika. Bank budi adalah bank paling kuat di dunia, dan kau bisa menemukannya di setiap aspek kehidupan.”

“….Aku mulai menyimpan direkeningmu bukan simpanan uang tetapi kontak. Kukenalkan kau pada orang ini dan itu, mengatur perjanjian-perjanjian, dan kau tau kau berutang budi padaku, tapi aku tak pernah minta apapun dari mu.”

“Dan suatu hari, aku akan minta tolong padamu dan kau bisa saja mengatakan ‘Tidak’, tapi kau sadari bahwa kau berutang budi padaku. Kau lakukan apa yang ku minta. Aku terus membantumu, dan orang-orang lain melihat kau orang yang tau membalas budi, jadi mereka pun mulai menyimpan direkeningmu –selalu dalam bentuk kontak, karena dunia ini hanya terdiri atas kontak, tidak ada yang lain lagi. Mereka pun pada suatu hari akan minta bantuan padamu, dank au akan menghormati dan membantu orang-orang yang pernah membantumu, dan pada saatnya, jaringanmu akan melebar ke seluruh dunia, kau akan kenal semua orang yang pernah kau kenal, dan pengaruhmu akan tumbuh semakin besar.”

“Aku bisa saja menolak permintaanmu.”

“Tentu saja. Bank budi adalah investasi yang berisiko, sebagaimana bank-bank lain. Kau bisa menolak permintaan bantuanku, karena kau pikir aku membantumu karena kau memang wajib dibantu, karena kau yang terbaik dan semua orang harus mengakui bakatmu. Tidak apa-apa, aku akan mengucapkan terima kasih banyak dan minta tolong pada orang lain yang juga berutang budi padaku, tapi mulai saat itu, semua orang tau, tanpa perlu kuucapkan sepatah katapun, bahwa kau tak bisa dipercaya.”

“Potensimu tidak akan tumbuh maksimal, dan pasti tidak sebesar yang kau inginkan. Pada suatu titik, hidupmu mulai menurun, kau turun separuh jalan, tidak sampai ke dasar. Kau akan setengah bahagia, setengah merana, tidak frustasi tapi juga tidak terpuaskan. Kau tidak panas dan tidak dingin. Hanya suam-suam kuku. Dan seperti kata seorang pengkhotbah dalam buku sucinya: ‘makanan yang suam-suam kuku tidak menimbulkan selera’…”

Kau boleh saja setuju dan tidak (terutama pada kalimat terakhir kutipan sang pengkhotbah itu, karena tentu saja aku pun akan memilih menunggu makanan menjadi suam-suam kuku ketimbang lidahku tersiram kuah panas). Tapi tentu kau tau apa yang ingin kumaksud dalam penggalan-penggalan kalimat yang telah kutulis itu.

Bank budi, aura positif, beramal jangan menunggu sampai kau banyak uang…

(aku tak ingin menjadi pengkhotbah dengan kalimat penutup seperti ini, yang kelihatannya juga anti klimaks, aku hanya tak tau bagimana menutup tulisan ini secara klimaks…)

Ingin Memenggal Kepala Ayah

Ini judul cerpen yang pernah ditulis temanku. Meski aku tak ingat betul apa isinya dan telah dimuat di media apa. Tapi judul ini seringkali begitu pas dilekatkan pada kebencianku pada ayahku sendiri. Seperti malam itu. Saat aku begitu tak bisa menguasai diri saat aku tau kaligrafi yang telah begitu susah payahnya dibuat adik bungsuku di waktu liburannya dari pondok pesantrennya di jombang dan menghasilkan karya yang lumayan menarik dipandang mata dengan semena-menanya dipotong sesuai kemauannya. Kemarahanku semakin mengkal saat aku tau potongan itu sangat tidak asimetris. Tak mungkin disambungkan lagi karena perlu tambalan disana sini. Sangat mengurangi estetika. Padahal aku telah berniat akan memajangnya di kamar kos ku nanti.

Kau tau apa sangkalannya saat aku meradang tentang hal ini, ia dengan enaknya menjawab, sengaja dipotong karena tak pas dengan ukuran kaca jendela. Gosh, kau tau dimana ia memasang kaligrafi ini setelah sekian lama aku tak pulang? Di kaca jendela depan. Adikku yang lain malah sempet mengejek, "banyak yang ngirain bapak lagi pasang iklan lowongan pekerjaan tuh…."

Sambil menahan marah dan tangis aku sempat berkata padanya, "Pak, jangan melakukan hal-hal semaunya sendiri. Minta pertimbangan orang lain. Orang yang bikin pasti marah kalau tau karyanya dipotong seenaknya kayak gini. Hargai karya orang."

Sudah dapat diduga ia tak akan pernah menerima pendapatku. Pendapat siapapun. Dan aku lah teman bertengkarnya sejati selama ini. Itu sebabnya aku tak pernah betah lama-lama tinggal di rumah. Selalu ada masalah yang akan kami ributkan. Dan aku paling tak tahan dengan sikap dan pandangannya yang sering kali aku anggap aneh. Sangat aneh dan seringkali tak bertanggung jawab.

Kegeramanku saat itu kemali memunculkan memori lamaku saat aku baru saja memenangkan lomba antar sekolah beberapa tahun lalu. saat itu aku mendapat hadiah berupa tabungan. Aku tentu saja senang karena itu akan menjadi bekal bagi cita-citaku untuk melanjutkan kuliah. Aku ingat betul hadiah itu seperti anugerah karena aku tengah berada di tingkat akhir sekolah menengah atas dan aku sangat ingin bisa kuliah. Kau perlu tau betapa morat-maritnya kehidupan keluarga kami saat itu (yang sedikit mengalami perubahan saat ini) sehingga sekolah menjadi hal yang luar biasa buat kami. Kakakku sampai harus putus sekolah. Akulah anak pertama di keluargaku yang punya semangat begitu kuat untuk tetap bisa sekolah hingga harus berjualan koran bekas. Aku pula anak pertama yang berhasil mencecap pendidikan begitu tinggi yang tak semuanya diwariskan adik-adikku yang lain. Aku sering kali merasa rapuh mengingat hal ini. Semangatku untuk tetap bisa sekolah seringkali harus aku bayar mahal. Termasuk saat aku tau tabungan hadiah lombaku sebelumnya telah raib diambil ayahku sendiri. Untuk modal usaha katanya. Dan aku tak pernah tau usaha apa. Yang aku tau semua usahanya tak pernah ada yang sukses. Hingga rumah kami satu persatu tergadai dan kami harus berpindah tempat tinggal dari satu rumah kontrakkan ke rumah kontrakkan yang lain hingga kini. Menyisakan kesusahan pada ibuku yang harus meminjam uang ke sana kemari demi kelangsungan hidup kami. Termasuk bekal awal kuliahku yang telah raib dicuri.

Aku akan dengan mudah menunjuk siapa biang keladi kesusahan ini. Tentu saja ayahku yang menurutku tak pernah bertanggung jawab atas kelengsungan hidup keluarganya. Aku pernah menggugat pada ibuku kenapa begitu setia padanya dan melayani semua kebutuhan-kebutuhannya meski kami semua telah memiliki krisis kepercayaan padanya. Aku tak ingat betul apa jawabnya. Tapi satu hal yang mungkin patut dibanggakan dari ayahku ialah ia laki-laki yang setia. Menurut ibuku ia tak pernah kedapatan selingkuh dengan siapapun meski ia punya bakat untuk itu. Konon, kakek dari ayahku adalah "don juan" sejati. Istrinya ada dimana-mana. Ayahku termasuk salah satu anak entah dari istri yang ke berapa yang ditinggal begitu saja sampai akhirnya nenekku memutuskan untuk menikah lagi dengan orang lain. Mungkin kepahitan hidup menjadi anak tiri telah membuatnya kukuh untuk setia pada keluarga nanti.

Tapi apa yang dilakukannya kemudian? Ia mungkin saja setia, dan kami boleh bangga atas hal itu, namun aku tetap akan menilai ia kepala keluarga yang tak punya cukup tanggung jawab untuk menyejahterakan keluarganya. Ia hanya pandai memproduksi anak yang akan dilahirkan ibuku setiap dua tahun sekali dan total menghasilkan 8 anak, minus kakak keduaku yang mati saat masih bayi. Tapi seringkali tak ambil peduli pada masalah anak-anaknya. Membuat aku seringkali menggugat, hey, engkaulah penyebab aku lahir di bumi ini. Mengapa kau jadikan aku dulu?

Kebencianku pernah sampai terbawa dalam alam bawah sadarku dan aku pernah bermimpi memenggal kepalanya yang ku kira kepala seekor ayam jantan. Mimpi horror. Membuat aku ketakutan sendiri. Mimpi yang telah lama sekali. Mimpi itu terjadi jauh sebelum aku kenal temanku yang kemudian menulis judul cerpen yang persis sama dengan mimpiku dulu. Dan aku tak pernah mencerikan mimpiku kepada siapapun. Tidak juga pada ucu temanku yang cerpenis itu. Bila ia tiba-tiba mempuntai inspirasi yang sama, mudah diduga kau akan tau jawabannya, itu hanya kebetulan semata….

Aku Tidak Ingin Menikah

Jadi jangan kau tanya, kapan?

Tuesday, November 07, 2006

Speech.. Speech.. Speech...

gue selalu kesulitan untuk berbicara secara runut dan sistematis. apa yang ada di kepala selalu berbeda dengan kata yang kemudian terlontar. apa yang tampaknya mudah dan dengan begitu rapinya tersusn dalam otak gue tiba-tiba menjadi kacau-balau ketika gue berbicara. semua jadi begitu amburadul. gue jadi bicara tak keruan dan sering tersesat ditengah ucapan gue sendiri.

gue selalu kagum pada orang-orang yang mempunyai kemampuan presentasi yang baik. yang mampu berbicara dengan gaya yang enak, runut, dan sistematis. percayalah, gue selalu berusaha untuk bisa melakukannya. tapi kau tau, tak pernah berhasil. gue selalu bicara dengan cepat, tak fokus, dan gue hanya bisa menyesal diam-diam saat kesempatan buat gue berbicara selesai. "kenapa jadi begini...........?" "kenapa yang gue omong tadi begitu jauh dengan apa yang sebelumnya sudah susun dikepala?"

ah, rasanya ini berhubungan pula dengan kelemahan gue yang lain. yang selalu tak bisa fokus, lemah dalam mengingat hal yang detil, dan paling pusing kalau disuruh hitung-hitungan.

so, what's your ability, madam...?

Monday, November 06, 2006

Going Abroad

baru tiba dari doha, qatar, menghadiri seminar internasional yang wah banget... (cerita detilnya nanti aja). ketemu beragam orang dengan beragam pesonanya. gue semakin merasa gak ada apa-apanya. semakin terpecut untuk mengakrabi bahasa asing. memahiri bahasa inggris gue yang gak becus-becus sampe hari gini, mempelajari bahasa lain (sempet menyesal mengapa begitu cuek dengan bahasa arab yang sempat gue pelajari dasar-dasarnya dulu?), karena gue cuma bisa terkagum-kagum dengan orang yang begitu lancarnya berbahasa asing lebih dari dua bahasa dan bahasa ibunya (di konferensi ini bahasa yang digunakan selain inggris adalah arab, perancis, dan spanyol).

sempet ketemu temen yang aslinya "wong jowo" tapi berkantor di genewa, yang kangen banget makan tempe (sampe segitunya), yang bahasa inggrisnya ngalir kayak air sementara setting di ponselnya pake bahasa perancis (pusing!). atau saat ngobrol di acara sarapan yang hangat dengan seorang dosen perempuan di irak, yang cantik dan pintar, yang bahasa ibunya tentu saja bahasa arab, dan tentu saja bahasa inggris yang terjaga, lalu tak canggung menyapa teman dari salah satu negara di afrika dengan sapaan perancis dan gue cuma bisa bilang, "i don't understand.." sambil tertawa, dia cuma menjawab, "khomsi.. khomsi.."

ah, ah, buka mata, buka telinga, ini jamannya gobal bung, atau kau akan tertinggal.
dan gue cuma bisa berharap semoga ini bukan kepergian yang pertama dan terakhir...
dan tiba-tiba gue ingin punya rumah dengan ruang pribadi dan kamar mandi ber-bath tub...

Friday, September 15, 2006

jablai

what happen aya naon nih blog? tiba-tiba gak bisa dibuka. apa karena sudah terlalu lama gak ditengok? "jablai" orang bilang. jarang dibelai. padahal lagi pengen nulis sesuatu. meski kadang niat tinggal niat. ah, masih gak berubah juga gue. pemalas seperti dulu.

Friday, July 21, 2006

Air

aku selalu suka air. meski, bila kau percaya pada segala unsur dan shio yang direkatkan pada tanggal kelahiran, konon unsur api mendominasi segala sifat dan perilakuku.

aku suka berlama-lama berada di kamar mandi. aku tak akan jenuh memandang panorama yang penuh dengan air.
aku suka pantai. aku sempat memimpikan berumah di pinggir pantai.
aku suka laut. aku tak pernah habis mengerti memandang segala kemisteriusan yang terjadi saat kita memandang gejolak ombak yang terjadi di permukaan laut. atau pantai.
betapa dinamisnya. betapa indahnya.

tapi aku tak pandai berenang. tak juga bisa. padahal betapa aku menginginkannya.
kelihatannya mudah saja. tiap kali aku melihat orang yang bergerak-gerak dengan indahnya di kolam renang. tapi percayalah, aku menjadi orang yang begitu kerdil tiap kali menjajal kolam renang. takut tenggelam. padahal kedalaman air tak seberapa.

rasa takut itu pula yang tiba-tiba meruap saat aku dengan nekatnya mencoba menebus ketakutanku di dalam air. sendiri. di kolam renang gg house. di gadog sana. di sore hari saat hujan mulai meradang. menjelang magrib. di saat tamu-tamu bergegas meneduhkan diri. termasuk bocah-bocah kecil anak temanku yang sore itu datang berlibur dan melepas kangen dengan ayahnya.

kuingkari rasa cemasku. berganti kostum lalu menceburkan diri. tapi tak berlangsung lama. segera ku angkat kaki. saat sepi mulai menyergap dan rasa takutku tak tertolong lagi. meski rasa sesal bercampur gemas masih tertinggal. akankah engkau bisa kutaklukkan? sementara usia tak lagi menunjang?

Who Wants To Be Millionaire?

kamis malam, 13 juli 06, tengah malam menunggu mata tak lagi bisa bekerja sambil menyaksikan siaran teve yang tanpa logika. setelah klik tombol sana sini, sempat pula menyaksikan ajang pemilihan L-Men manhunt indonesia yang tanpa pesona (heh, ternyata kalau para lelaki dipajang bertelanjang dada sama sekali tak menaikkan birahi apapun. aku malah seperti melihat binatang-binatang yang bisa berdiri dan berbicara). pemilihan berakhir dengan pemenang yang sudah kuduga meski bukan "gacoan gue" (hakul yakin aku memastikan kemenangan nando ini lebih karena wajahnya yang "oriental" agar layak jual untuk kawasan asia).

acara berganti. sedikit surpraise menemukan "who wants to be millionaire" tengah malam begini. "mentang-mentang ada rahma azhari," tulisku pada sebuah pesan pendek yang kukirim pada teman begadang di ujung sana. "hehe.. silahkan lihat wanita cantik yang otaknya ada di dada...," sambungnya. sumprit. ledekan khas lelaki.

edisi ini memang agak khusus tampaknya. menampilkan para wanita cantik yang dikenal dari dunia selebritas. rahma azhari salah satunya. aku sempat melihat engel elga, dan istrinya bebi romeo (?) menjadi peserta disitu. dan rahma mendapat kesempatan menjadi peserta pertama yang menempati kursi panas.

poin per poin terus melaju. sempat gregetan dengan gaya kenesnya saat tak tau wr. soepratman identik dengan alat musik apa. atau patung prajna paramitha disimpan dimana. tapi percaya dirinya kembali ditonjolkan saat menjawab sebagai grup musik bukan berasal dari irlandia. "kebetulan aku suka musik..." jawabnya dengan tidak meninggalkan kekenesannya.

kepedeannya makin ditonjolkan saat ia mengontak temannya yang adalah orang bule. ia menggunakan fasiltas phone a friend karena terjegal pertanyaan yang rada-rada asing. bahasa inggrisnya lancar. dan ia mendapat jawaban yang dimauinya. setelah itu, entah mengapa tantowi yahya sang pemandu pun ikut-ikutan bercakap dengan bahasa inggris. seperti tak ingin kalah bahasa. dan aku seperti menyaksikan tayangan who wants to be a millionaire versi amerika. you know what? si cantik yang otaknya ada di dada ini berhasil melampaui titik aman kedua. 32 juta rupiah. well done. dengan segala kekenesannya.

"lewat 32juta juga doi. orang cakep emang disayang tuhan. meski tolol dan sok nginggris". kutukku. masih pada teman di ujung sana.

(perempuan-perempuan cantik itu, apakah isinya? kegemasanku makin menjadi saat melihat peserta kedua yang adalah model tapi tak ku tau namanya kebingungan saat ditanya apa sinonim dari kata meninggal?
"aku agak-agak bingung nih anatara sinonim dan antonim...,"katanya. God...)

Thursday, May 04, 2006

Dia yang Pergi...

minggu siang kemarin sebuah sms datang "siang ini iring-iringan pelayat menuju karet tengsin mengantar jenazah Pram..."
sebuah sms yang telat aku baca (aku baru saja menenangkan diri atas kasus pribadi yang tak ingin aku bagi padamu).

februari yang lalu orang yang sama sempat mengirim sms pula mengajak aku datang ke TIM untuk memperingati 81 tahun usia Pram. aku gagal memenuhi undangannya. dan dia cuma berkata "sayang sekali. padahal bisa jadi ini ulangtahunnya yang terakhir lho..."
aku sempat tak yakin dengan ucapannya itu. tahun lalu aku sempat menghadiri ulangtahun Pram yang ke-80. meriah. aku dengar ucapan-ucapannya yang terdengar kokoh. juga rasa optimisnya. "saya rutin makan dua butir bawang putih setiap hari untuk mengurangi gula saya," katanya saat ditanya bagaimana kesehatannya saat itu.

satu hal yang begitu membekas dan terus ternginang dalam pikiranku adalah pernyataannya saat ditanya "apakah Pak Pram pernah berdoa?"
ia menjawab tangkas,"dari kecil saya diajari untuk tidak meminta-minta kepada siapapun. hidup ini harus diusahakan sendiri. tanpa harus meminta-minta belas kasihan kepada siapapun..."
ah, betapa kokohnya ia. betapa aku mengaguminya. dan aku hanya bagian kecil dari "segerombolan" besar para pengagumnya.

kau tau, buku pertama yang aku beli dari uangku sendiri dan begitu aku banggakan adalah seri tetralogi "Bumi Manusia" yang aku beli di TIM. aku membelinya sekaligus waktu itu dan itulah buku termahal pertama yang pernah aku beli. setelah itu berturut-turut "larasati", "cerita dari Blora", "bukan pasar malam" dan entah apalagi, ada dalam genggaman. aku tak ingat persis meski ingat aku sempat pula membeli "ibunda"-nya maxim gorki yang diterjemahkan Pram dan kini sudah berpindah tangan ke orang lain.

aku juga ingat saat aku pernah begitu dekat dan sempat menyapanya pada sebuah acara dan ia menorehkan tandatangannya pada salah satu bukuku. betapa aku mengaguminya. caranya bertutur. kecintaannya pada indonesia. tanah air yang tak pernah memberinya penghargaan yang sebanding dengan karya-karyanya. dan ia tak pernah peduli. meski kadang rasa dendam sempat aku rasakan dalam beberapa pernyatannya. (ia yang menolak rekonsiliasi yang sempat ditawarkan gus dur atau pada jawaban-jawabannya bila ditanya tentang buku-bukunya).

betapa aku mengaguminya. pada kekokohannya yang sering aku bayangkan hanya dimiliki orang-orang eksistensialis. dan kini ia pergi. meninggalkan orang-orang yang mengaguminya. teman-teman yang bernasib sama yang sebagian memilih tinggal di luar negerinya. selamat jalan pak pram... tuhan tentu rindu pada makhluk yang tak cengeng sepertimu...

Thursday, January 19, 2006

percobaan hari ini (2)

agak surpraise juga gue bisa nulis agak panjang hari ini (liat postingan sebelum ini dong?). mengingat gue tengah merasa gue semakin bebal luar biasa. males ngapa-ngapain. cuma punya modal niat pengen buat ini itu. termasuk dalam hal nulis. dengan kemampuan fisik yang makin keropos. (tolong ingatkan gue bahwa gue pengen cerita soal tetirah di rumah sakit yang belum lama gue jalanin. juga soal pak dawet yang gue temui di jogja tempo lalu. semata unuk mengisi blog my journal gue yang udah lama banget dibiarkan kosong...).

Percobaan hari ini

Malam tadi gue sengaja pasang alarm tepat pukul 03.30 dini hari. Sebenarnya alarm itu juga sudah diset dari kemarin. Niatnya mau sahur untuk puasa. Puasa? Tumben? Ya. Sejak keluar rumah sakit seminggu yang lalu (dan hampir menghadapi sakaratul maut versi gue) gue jadi agak-agak makin religius (sedikit). (meski tujuan puasa itu sendiri agak-agak kabur buat gue. Beneran insyaf atau sekedar ngurangi lemak pada tubuh gue yang semakin mbohai saja…) Lagi pun, ini tahun baru toh?! Tempat orang biasanya bikin resolusi (kenapa dinamain resolusi? Kata yang gak pernah gue ngerti sampai sekarang) macam-macam yang intinya ingin ada perubahan. Meski biasanya gak ngaruh sama sekali. Kau tau, gue gak pernah sukses puasa. Pun di bulan ramadhan. Dan utang-utang yang makin menumpuk itu tak pernah terbayar.

Meski, omong-omong soal sahur, persiapan ini pun sudah dimulai sejak kemarin. Berhubung irawan, tetangga sebelah rumah gue dengan rela kompornya dibajak (ini sebenarnya kompor warisan yang ditinggalkan fadli, penghuni lama), gue jadi berfikir aneh-aneh. Yang mau masaklah, meski bisa dipastikan ini nafsu sesaat. Tau sendiri gue paling males berepot-repot ria masak. Lagipun, gue cuma sendirian, siapa yang mau ngabisin masakan yang pastinya gak mungkin tersaji satu porsi tok. Minus rasa yang gak perlu diomongin dulu disini.

Maka, lepas dari niat luhur apa dibalik keinginan gue puasa itu, berbelanjalah gue untuk persiapan sahur selasa malam lalu. Meski rada bingung. Masak apa di tengah malam buta yang praktis dan tidak mubajir plus dengan peralatan masak yang seadanya?

Hm, pilihan cepat jatuh pada telur ceplok. So, berbelilah gue beras seliter seharga 4.000 perak, telur ayam seperempat kilo, mentega sachet, dan garam halus di warung depan rumah. Total semuanya sepuluh ribu lima ratus rupiah. Eh, plus yakult sebuah ding. Biasalah lapar mata melihat tampilannya yang terpajang di lemari pendingin malam itu.

Lalu sukseskah acara sahur selasa malam itu? sama sekali tidak.
Alarm pada hp memang sukses berdering-dering pada pukul 3.30 dini hari. Dan gue sukes terbangun pada deringannya yang petama. Tapi tak gue biarkan dia berdering lebih lama. Segera gue pasung dan gue kembali ke posisi awal memeluk guling gue satu-satunya itu.

Gue masih ngantuk berat. Alasan yang memberatkan adalah malam kemarin itu gue bahkan baru bangun menjelang pukul dua dini hari. Ngapain aja? Kan udah niat mau sahur? Biasalah. Malam itu tiba-tiba saja gue tertarik untuk transfer gambar yang udah diambil sejak desember lalu (kamera baru bo! Lumix lz 30). Dan, karena ini kali pertama gue pegang kamera digital, agak-agak makan waktu lah untuk urusan-urusan teknis yang gue gak ngerti.
Belum lagi kemudian gue terpesona sendiri sama hasil gambar yang gue dapet. Trus pengen ngerubah ini itu. Klik sana klik sini sampai tengah malam.

Ah, ada gangguan lain juga sebenarnya. Capek karena gak berhasil merubah gambar seperti yang gue mau trus stel teve (ehm! Teve baru juga bo! Meski masih agak mangkel dengan gambarnya yang gak stabil meski sudah dipasangin antena luar). Klik sana klik sini.
Hah, tayangan tengah malam memang memanjakan libido siapapun yang telah tumbuh hormon testetoronnya. Meski kadang dibuat-buat. Ada tayangan ”fenomena klasik”nya trans teve yang malam itu berkisah tentang Mata Hari yang dibawain Djenar Mahesa Ayu dengan dandanan yang (sengaja) dibuat seksi. Atau tayangan tengah malamnya lativi dengan macam-macam judul yang gue gak hafal. Semuanya saru-saru (kenapa ka Oma tak pernah ribut soal ini?). Yang sempet terekam adalah tampilan Rahma Azhari sang host acara yang malam itu juga kelihatannya sengaja dibuat sesensual mungkin.

Isi acara pun dibuat macam-macam yang menggugah selera. (termasuk gue malam itu yang sampai kelepasan tidur jam 2 dini hari. Haha...) Omong soal atm kondomlah, sex toy lah. Halakabrah lah pokoknya. Eh, sempat lihat diskusinya metro tv yang omong soal UU pornografi yang nampilin Ayu Utami sebagai salah satu pembahas. Tapi, berhubung gambar metro adalah gambar terjelek di teve gue, males lah lama-lama noton tayangan dengan gambar yang kabur sana kabur sini.

Eh, gagal dengan niat puasa di hari sebelumnya bukannya meluntur tapi makin menebal pada hari berikutnya. Apalagi rabu siang kemarin gue semakin merasa bersalah dengan pola makan yang sudah tertelan. Jam sepuluh pagi dah makan berat. Siang jam 1 makan berat lagi. Lha, sore jam empat, belum sempat rasanya nasi terolah dengan baik, sudah makan mie ayam dengan menu lengkap. Ada bakso plus pangsit rebus. Alhasil perut terasa sesak dan ukuran panggul ke bawah ini semakin memberat saja. Belum lagi aktifitas kerja yang semakin menabalkan memberatnya ukuran panggul ke bawah itu.

Maka, untuk mengurangi rasa bersalah gue putuskan untuk keluar kantor sebentar untuk jalan kaki mengitari jalan borobudur sejenak kemarin sore itu. Bermula dari jalan borobudur no.4, ambil jalur kiri keluar proklamasi, lurus melewati megaria lalu masuk jalan mendut. Lurus terus melewati radio prambors, kantor kontras dan kembali ke borobudur no.4.
Berhasil mengurangi lemak? Entah lah. Yang jelas berhasil menguatkan niat bahwa gue memang harus berpuasa esok hari.

Maka, meski pulang dari borobudur dalam jam yang tidak bisa dikatakan sore, rabu malam kemarin alarm kembali terpasang pada pukul 3.30 dinihari. Yap, gue berhasil bangun. Berhasil membuat langkah maju karena meski gue terbangun lebih awal semata karena kebelet ingin buang air kecil (pengaruh obat yang malam itu gue minum?) gue gak lantas mengambil posisi untuk tidur lagi. Melainkan segera mematikan alarm yang belum sempat berdering dan mencuci segenggam beras.

Ya sesenggam. Bukankah tak adalagi orang yang makan kecuali gue sendiri dini hari itu? Meski tak yakin dengan hasilnya (mengingat tampilannya yang hanya berupa air dengan bulir-bulir beras yang melayang disana sini) gue nyalakan rice cooker. gue perkirakan 30 menit matang. Tapi karena lagi-lagi gue tak yakin dengan tampilannya, maka gue setia menunggu proses memasaknya. Gue memperkirakan nasi ini akan gosong.

Sambil menunggu gue sempat membersihkan peralatan yang akan gue gunakan untuk menceplok telur dini hari itu. Ah, saat mempersiapkan peralatan, ingatan gue melayang-layang ke sesuatu. (haruskah gue tulis disini?)

Gue sedang tak ingin bersentimentil. Tapi beberapa perabot ini gue beli saat gue punya temen dekat dan kami belanja bersama saat gue baru pindah-pindahan kos. Perabot yang lumayan lengkap untuk ukuran anak kos. Beberapa atas usulnya yang sesungguhnya gak pernah gue pikir. Termasuk membeli rice cooker. Mengingat prinsip gue selalu: kalau ada yang jualan sate, kenapa harus beli kambing?

Gue ingat, gue pun tengah keranjingan mengkoleksi perlengkapan makan minum saat itu. Maka terkumpullah sejumlah cangkir dan mug, piring dan mangkuk dengan bentuknya yang lucu-lucu. Semuanya tersimpan dalam dus sampai saat ini. Sempat terlintas untuk memajangnya kembali dalam rak (untuk itu gue harus membeli rak baru) tapi selalu ragu mengingat resam tinggal gue yang selalu temporer. Pindah sana pindah sini.

Beberapa memang gue pajang kembali kemarin. Terutama peralatan memasak mengingat gue baru mendapatkan kompor rampasan seperti yang sudah gue bilang. (heh, gue sengaja beli hang cooker di hero kemarin).

Eh, kembali ke acara masak memasak dini hari tadi, sambil menunggu nasi tanak gue coba-coba menyalakan kompor yang lagi-lagi gue gak yakin tampilannya itu. Kompor ini belum melewati uji kelayakan sejak ditinggalkan sang empunya. Tapi daripada berasumsi lebih baik mencobanya kan?

Maka gue ambil korek dan setusuk sumpit untuk menyalakan. Benar saja. Api memang sempat menyala. Tapi dalam nyala yang lumayan besar. Segera gue kecilkan. Hah, gue merasa api menyala dengan tidak wajar. Ia keluar dari jalurnya. Maka segera gue siram air sebelum segalanya terjadi. Sempat merasa ketar ketir. Gue memang agak phobi sama peralatan rumah. Api, gas, listrik. Sampai gue memutuskan, udahlah lupakan saja acara masak memasak sahur ini.

Lalu, bagaimana nasib yang beras yang sempat melayang-layang dan tertanak tadi?
Sebelum benar-benar gue nyalakan kompor, gue sempat ngintip penampakannya segera setelah tombol cook pada rice cooker berpindah tempat.

Guess what? Gue mendapatkan bentuk nasi yang aneh. Buliran nasi yang tersebar disana sini dengan lapisan seperti plastik di bawahnya. Lapisan ini seperti kalau kita memasak nasi liwet. Ia memang tidak gosong. Tetapi mewujud dalam bentuknya yang membuat gue takjub. Ia bisa diangkat tanpa meninggalkan jejak sebulir pun ditempatnya. Dan gue bisa melipat-lipat lingkaran nasi berlapis plastik itu menjadi sebentuk martabak. Meski tak termakan dan segera gue masukkan ke tempat sampah sesaat sebelum gue abadikan lewat ponsel gue dan azan subuh yang tiba-tiba mencuri waktu sahur gue.