Wednesday, November 29, 2006

Nawal el-Sadawi

Tak percaya akhirnya aku berhasil bertemu dengan pengarang yang aku kagumi itu. Tadinya aku malah tidak berfikir bahwa ia masih hidup (pikiranku pasti dikacaukan dengan pengarang dari mesir lainnya, najib mahfouz, yang telah pergi beberapa bulan lalu. Pikiran bodoh sekaligus memalukan). Aku menemuinya dalam suatu acara yang sangat kebetulan. Saat aku begitu suntuk dan butuh “sekedar bahu untuk menangis” berharap ada jalan keluar. Lalu aku kontak lisa temanku. Meski aku tau, tak ada teman yang benar-benar bisa kita harapkan saat kita punya masalah. Ingat motto ku selalu kan? Semua orang punya kesibukan dan masalahnya sendiri-sendiri.

Lisa memang sempat menerima teleponku, meski saat aku tanya,”lu sibuk? bisa ketemuan?" Ia tanpa sungkan-sungkan menjawab, "iya sih". Dan telepon sempat terdiam beberapa saat karena ia harus menemui tamunya di seberang sana, menurut pengakuannya.
"Tapi… kalo lu mau, kita bisa ketemuan ntar malam, gue ada janji nemenin temen gue dari Jordan. Lu gabung aja", tutupnya mencoba membesarkan hatiku.

Aku sempat menolaknya. Buat apa aku berada ditengah orang-orang yang tengah klangenan? Lagipula aku butuh privasi untuk membicarakan masalahku. "Gue butuh ketemu sekarang lis, gak mesti sama lu sih, tapi sama mbak tati. Soal fiscal gue", desakku mengungkap masalah yang sempat bikin aku sumpek dan jutek beberapa hari belakangan ini. Soal ada apa dengan fiscalku itu sendiri rasanya tak ingin aku perpanjang pada judul ini. Pada judul lain mungkin. Meski aku tak janji.

“Lu datang aja ntar sore di galeri nasional, ada Nawal disana,” kembali lisa memberi alternatif.

***
Awalnya aku tak jelas dengan acara ini. Ku pikir ini acara yang sekedar membahas buku-buku Nawal tanpa pernah menghadirkan secara langsung pengarangnya. Meski tetap aku niatkan untuk datang. Tujuan pertama tentu bisa bertemu tati dan ia bisa menjadi malaikatku sore itu. Meski aku tau ini harapan yang sangat berlebihan dan praduga itu terbukti benar. Tujuan lainnya tentu mencari udara lain. Keluar dari kantor dan rutinitas sejenak agar dapat sedikit melupakan masalah yang tengah aku hadapi. Tujuan ini ternyata lebih ampuh dari sekedar dugaanku sendiri.

Aku datang telat. Sempat jutek dengan sapaan penerima tamu yang menurutku sangat tidak sopan. Padahal ia jelas lebih tua dari aku. Perempuan pula. Dan mungkin pula aktifis. (lalu apa hubungannya?)

"Dari mana mbak?," tanyanya.

"Demos", jawabku.

"Oh… disini", lanjutnya sambil menunjuk pada buku tamu yang dikhususkan bagi media.

"Saya bukan dari media mbak. Dari LSM. Demos", jawaku mengulang ucapanku semula.

"o… anak buahnya…."

"Asmara nababan," kataku memotong kiraanya

"Anak buahnya boni ya?", tuduhnya tanpa menghiraukan jawabanku sebelumnya

"Padahal kita ngundang mas boni lho… eh, yang dateng anak buahnya…"

Aku menahan diri sambil berusaha dengan tenang menulis nama dan alamat kontakku. Padahal betapa inginnya aku membalas perkataannya, "dengar ya mbak, boni gak pernah bilang ada acara apa-apa tuh. Dan saya bukan anak buahnya…", batin ku geram. Arrrgghhh....!!! hari gini ngomong istilah anak buah?!

Ingin sekali aku tambahkan kegeramanku lebih panjang lagi, "saya di demos lebih lama dari boni jadi mungkin ia lebih pantas jadi anak buah saya, tapi kita semua teman. Bukan subordinasi".
Tapi semua geraman itu aku tentu saja tetap aku simpan dalam hati. Aku tetap tenang sambil menyerahkan kartu namaku saat penerima tamu yang perempuan senior itu memintanya (see? Aku berhasil bertindak dewasa kali ini bukan?)

Aku masuk ruangan dengan peserta yang pikuk. Kebanyakan perempuan. Dari beberapa generasi. Ninuk Mariana Pambudy baru saja menyelesaikan uraiannya tanpa pernah aku tau apa isinya. Mataku segera menangkap sosok itu. Duduk ditengah diantara para pembicara. Berambut perak dengan kuncir kuda tersisir rapi. Semua putih. Mengingatkan aku pada rambut Adnan Buyung Nasution. Kemeja yang dikenakannya pun berwarna putih. Lengan pendek dengan garis vertical berwarna merah muda. Wajahnya kelihatan bersahaja. Segera ku cari tempat duduk saat aku tau aku belum tertinggal untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya.

Then she became the only one star on the stage. Pernyataan-pernyataannya begitu memukau. Menggairahkan semangat hidup. Mengingatkanku pada Pram. Juga kesamaan keduanya pada ketuliannya. Sehingga setiap penanya harus berdiri mendekat dengannya dan menggunakan mikropon.

Audiens begitu bersemangat bertanya padanya. Dan semua pertanyaan dijawabnya dengan jawaban-jawaban yang sangat memukau. Aku hanya sempat mengingat dan mencatat beberapa saja.

"Nawal, bagaimana mungkin kita selamanya menjadi pemberontak, seperti prinsip anda, padahal dalam hidup selalu ada aturan-aturan yang tak bisa kita lampaui?", gugat penanya petama yang langsung diresponsnya dengan senang.

"Good question. I already get this question in every place I go", katanya sambil tersenyum…."maka berkreasilah. Be creative. Creativity is change the rules. Make a new rules. Jangan selalu tunduk pada peraturan-peraturan yang mengekang kita". Begitu kira-kira jawabannya.

Lalu saat ditanya soal pendidikan?
"Education dependent on political system. If system good, education will be good and we don’t need pay to our education. That’s our basic need" yang langsung di timpali dengan tepuk tangan audiens.

Pertanyaan lain dari Jajang C. Noer yang tampaknya menyempatkan diri untuk hadir (aku beberapa kali bertemu dengannya pada acara-acara diskusi tentang perempuan),
"pandangan anda untuk tidak tergantung pada siapapun, termasuk suami, agar kita bisa berfikir dan bertindak merdeka, menjadi tambahan referensi bagi saya, hal lain yang ingin saya tanyakan adalah, sebagai muslim apakah anda shalat?"

Secara diplomatis ia menjawab, "dalam kepercayaan asli masyarakat Mesir kami mengenal dua bentuk tuhan. Laki-laki dan perempuan. Dari sanalah kita mengenal konsep-konsep penciptaan dan pemeliharaan alam. Namun agama-agama besar seringkali mereduksinya menjadi tuhan laki-laki yang sangat berkuasa dan kita menjadi takut padanya. Menjadi harus tunduk padanya dengan segala keterpaksaan. Ini agama yang sungguh-sungguh maskulin dan saya kira kita bebas untuk menentukan apakah kita harus merasa takutnya atau tidak".

Jawaban menarik lainnya dan sangat diluar dugaan buatku adalah saat ditanya, "apa pendapat anda terhadap profesi full time mother?"
Ia dengan tangkas menjawab, "anda harus tau, dan seharusnya kita semua sadar, tidak ada istilah full time mother atau father, karena anak butuh space bagi dirinya sendiri. Jangan dikira anak-anak butuh selamanya diawasi atau didampingi. Mereka butuh ruang bagi dirinya sendiri. Beri mereka kebebasan". sebuah jawaban yang segera mendapat tepuk tangan audiens. Riuh.

Aku menyukai jawaban-jawabannya yang tak terduga. Dan sempat menimbulkan rasa penasaranku untuk bertanya langsung padanya. Meski kesempatan itu tak pernah ada. Panitia merasa punya kewajiban untuk membatasi waktu dengan alasan kesehatannya. Nawal sendiri tampak telah mengisyaratkan hal itu. Meski ia tetap memberi kesempatan bagi siapapun yang tidak diberi kesempatan bertanya lagsung untuk mengirimkannya lewat emailnya.

aku berhasil mendapatkan alamat emailnya. Secara langsung. Atas tulisan tangannya sendiri. Dengan perjuangan yang tidak ringan. Menerobos kerumunan orang-orang yang ingin mendapatkan tanda tangan atas buku-bukunya, para wartawan yang entah dari mana asalnya yang masih mencecarnya dengan banyak pertanyaan, dan usiran panitia untuk membubarkan kerumunan dan memberi ruang bagi Nawal untuk beristirahat. Aku sempat berjanji pada diriku sendiri untuk berkorespondensi dengannya nanti. Meski kau pasti tau, niatan itu tak juga kesampaian sampai hari ini.

***
Kalau kau tanya apa yang akan aku tanyakan padanya bila kesempatan itu ada, aku akan bertanya apa arti penderitaan baginya, dan bagaimana ia berhasil melampaui semua rasa sakit itu?
Meski aku bisa menduga apa jawabannya. Pasti ia akan menjawab, menulis. Buatlah menulis sebagai terapi sekaligus pengobatan bagi rasa sakitmu. Seperti yang telah ia lakukan pada puluhan karya-karyanya. Seperti yang tengah aku lakukan saat ini. dan aku akan kembali menambahkan jawabnya, biasanya orang akan begitu productive, akan menghasilkan karya monumental saat ia berada dibawah tekanan.

Jadi peliharalah rasa sakit itu. Agar kau tau apa arti berjuang dan menghasilkan karya-karya monumental karenanya.

No comments: