Friday, November 16, 2007

Jakarta Basah

Lama tak ngeblog. Tak mood. Tak ada ide. Sementara ribuan blog tercipta dengan bagusnya. Aku sering berapologi, mungkin bila aku bisa dengan mudahnya konek ke internet, tanpa batas dan halangan, akan makin rajin nulis. Mungkin juga tidak. You know who am I. sukanya ngayal yang tinggi-tinggi. Ngarep yang gak-gak.

Back to me again. Puluhan peristiwa berseliweran sementara aku vakum. Ada kisah roman, melodrama, sedikit ketegangan, kesenangan, dan rasa bosan yang masih betah bertahan. Aku akan tulis yang aku ingat saja. Mulai dari yang paling dekat.

Sudah beberapa hari ini Jakarta basah. Hujan berhari-hari. Gangguan rutin terjadi. Macet. Pohon tumbang. Banjir. Aku tak merasakan langsung semua gangguan itu. Aku sibuk menginstall laptop ku dengan game-game baru kemarin. Mencobanya satu per satu sampai mataku menyerah. Menyelesaikan tulisan tentang "Benteng Keraton Buton" yang aku harap bisa dimuat Kompas. Kalaupun tidak, ingin aku lempar ke National Geographic versi Indonesia. Meski mungkin agak berat. Menetapkan niat untuk kursus renang meski hari ini, lagi, niatan itu kembali batal. Setidaknya aku sudah berusaha. Terdampar sampai Jatinegara dan memutuskan kembali karena tak kunjung mendapat angkutan ke tempat kursus. Di Jatinegara otak ku berfikir cepat. Kemana harus menghabiskan hari. Aku putuskan untuk nonton “lions for lambs” di Megaria. Ini film serius. Beberapa dialog aku lewati. Entah tak mengerti atau tak konsentrasi. Aku ingat acara nonton dengan “the bluesman” yang sebentar lagi akan aku rinci. Lalu pulang dalam rinai gerimis yang kadang turun dengan serius. Jakarta basah.

Aku ingat pertemuan terakhirku dengan “sang kelana”. 3 September 2007. Di Novotel Mangga Dua. Aku ingat karena aku melingkari tanggal itu di kalender dindingku. Firasat akan pertemuan terakhir. It would be. Sudah dua bulan lebih dan tak ada tanda-tanda kegairahan darinya. Sementara aku makin menikmati kesedirianku. Tak sepenuhnya sendiri. Beberapa kali aku habiskan bersama “the bluesman” yang –seperti aku sudah bilang—akan aku rinci nanti. But let me finish it first dengan “sang kelana”.

Setelah tanggal 3 September itu ia ada sekali kontak aku. Lewat sebuah sms. Bukan telepon (sebuah tindakan yang sesungguhnya aku tunggu). Beberapa hari menjelang lebaran. Ia ingin aku menemuinya di Red Top. Aku acuhkan smsnya. Berharap ia melakukan lebih dari itu. Tapi ia tak pernah telepon. Menanyakan keacuhanku.

Sebuah sms kembali dikirimnya di hari lebaran. Sms basa-basi. Mengucap selamat lebaran dan mohon maaf lahir batin (ia biasa menggunakan kata “zahir batin”). Kembali aku acuhkan. Tak aku balas. Dan telepon itu tak pernah dilakukannya. Hingga kini. Dan aku mulai terbiasa untuk memupus segala harapan. Meski sesekali aku menyebut namanya. Saat merasa rindu. Tak lebih. Karena ini kisah roman. Sementara Jakarta basah.

Lalu ijinkan aku berkisah tentang “the bluesman”. Sedikit saja. Karena aku pernah secara khusus menulis tentangnya. Tapi aku hapus. Karena aku tak ingin menjadikannya kisah romanku. Aku malu mengakuinya.

Aku mengenalnya lewat reunian setelah acara hunting kami di Pulau Untung Jawa (akhirnya kutemui juga teman yang adalah seorang fotografer). Usianya setahun lebih muda dari aku. Kadang aku menikmati hari-hari yang aku habiskan bersamanya. Keliling Jakarta tengah malam hingga pagi menjelang. Atau nonton dvd bajakan secara marathon di kamarku yang disulap menjadi bioskop tanpa sound system yang memadai. Ia penuh kejutan. Meski bukan sepenuhnya tipe ku (aku masih sering membandingkannya dengan “sang kelana”). Sama halnya aku yang tak masuk dalam kategori sebagai “his girl”. Tapi seperti aku bilang, aku menikmati hari-hari yang dihabiskan bersamanya. Kerap merasa kehilangan saat ia tiba-tiba menghilang tanpa kabar (hal sama yang sering dilakukan “sang kelana”. Apakah ini memang kebiasaan laki-laki?). Merasa “cemburu” saat ia menelpon perempuan yang suatu saat diakunya sebagai mantan pacar namun kali lain dibanggakannya sebagai perempuan yang istimewa (aku sempat mengintip rekaman gambar seorang gadis manis bertubuh lencir bersuara merdu miliknya).

Aku tak ingin memupuk harapan. Tak ingin kembali masuk sebagai cinta kedua. Tak ingin terlena. Meski setan kadang menggoda. Sampai pecah perang dingin itu. Ia merasa tersinggung dengan kata-kata tak terkendaliku dalam sebuah balasan sms. Aku sendiri tengah merasa mangkel. Lebih dengan perasaanku sendiri. Aku tak ingin jatuh cinta dengannya. Meski setan makin sering menggoda. Tak tau malu. Ia benar-benar menghilang. Meski masih banyak barangnya yang tersisa di kamarku. Ini bukan kisah roman. Setidaknya aku menginginkannya begitu. Sementara Jakarta basah.

Di luar itu aku ingin menulis tentang kesuksesanku membeli sepeda. Polygon dengan warna yang cantik. 1,3 juta rupiah. Sebuah benda yang sesungguhnya bisa memicu ingatanku pada “the bluesman”. Mengingat kecintaannya pada sepeda dan selalu meracuniku untuk membelinya. Aku masih gugup mengendarainya. Minggu pagi lalu dalam uji coba pertamaku seorang bocah sukses menjadi korban kegugupanku.

Masih soal kendaraan, hasil patungan aku dan ibuku, kami akhirnya berhasil memiliki sebuah kijang second. 36 juta. Aku tak ingat persis spesifikasinya. Secara fisik aku anggap lumayan. Memacu gairahku untuk bisa nyetir. Entah kapan. Banyak peristiwa terjadi. Sementara Jakarta basah.