Thursday, May 04, 2006

Dia yang Pergi...

minggu siang kemarin sebuah sms datang "siang ini iring-iringan pelayat menuju karet tengsin mengantar jenazah Pram..."
sebuah sms yang telat aku baca (aku baru saja menenangkan diri atas kasus pribadi yang tak ingin aku bagi padamu).

februari yang lalu orang yang sama sempat mengirim sms pula mengajak aku datang ke TIM untuk memperingati 81 tahun usia Pram. aku gagal memenuhi undangannya. dan dia cuma berkata "sayang sekali. padahal bisa jadi ini ulangtahunnya yang terakhir lho..."
aku sempat tak yakin dengan ucapannya itu. tahun lalu aku sempat menghadiri ulangtahun Pram yang ke-80. meriah. aku dengar ucapan-ucapannya yang terdengar kokoh. juga rasa optimisnya. "saya rutin makan dua butir bawang putih setiap hari untuk mengurangi gula saya," katanya saat ditanya bagaimana kesehatannya saat itu.

satu hal yang begitu membekas dan terus ternginang dalam pikiranku adalah pernyataannya saat ditanya "apakah Pak Pram pernah berdoa?"
ia menjawab tangkas,"dari kecil saya diajari untuk tidak meminta-minta kepada siapapun. hidup ini harus diusahakan sendiri. tanpa harus meminta-minta belas kasihan kepada siapapun..."
ah, betapa kokohnya ia. betapa aku mengaguminya. dan aku hanya bagian kecil dari "segerombolan" besar para pengagumnya.

kau tau, buku pertama yang aku beli dari uangku sendiri dan begitu aku banggakan adalah seri tetralogi "Bumi Manusia" yang aku beli di TIM. aku membelinya sekaligus waktu itu dan itulah buku termahal pertama yang pernah aku beli. setelah itu berturut-turut "larasati", "cerita dari Blora", "bukan pasar malam" dan entah apalagi, ada dalam genggaman. aku tak ingat persis meski ingat aku sempat pula membeli "ibunda"-nya maxim gorki yang diterjemahkan Pram dan kini sudah berpindah tangan ke orang lain.

aku juga ingat saat aku pernah begitu dekat dan sempat menyapanya pada sebuah acara dan ia menorehkan tandatangannya pada salah satu bukuku. betapa aku mengaguminya. caranya bertutur. kecintaannya pada indonesia. tanah air yang tak pernah memberinya penghargaan yang sebanding dengan karya-karyanya. dan ia tak pernah peduli. meski kadang rasa dendam sempat aku rasakan dalam beberapa pernyatannya. (ia yang menolak rekonsiliasi yang sempat ditawarkan gus dur atau pada jawaban-jawabannya bila ditanya tentang buku-bukunya).

betapa aku mengaguminya. pada kekokohannya yang sering aku bayangkan hanya dimiliki orang-orang eksistensialis. dan kini ia pergi. meninggalkan orang-orang yang mengaguminya. teman-teman yang bernasib sama yang sebagian memilih tinggal di luar negerinya. selamat jalan pak pram... tuhan tentu rindu pada makhluk yang tak cengeng sepertimu...