Wednesday, November 29, 2006

Bank Budi

Sebarkanlah kebaikan maka kau akan mendapatkan balasan lebih dari kau kira.

Betapa ingin aku selalu bisa berbuat baik. Setiap saat. Setiap waktu. Tapi setan selalu ada dalam hatiku. Maka jangan heran bila aku lebih sering menjadi orang yang pelit luar biasa dan penuh perhitungan ketimbang orang yang selalu beramal. Jangan pernah berharap kau akan bisa dengan mudah meminjam sesuatu padaku. Entah uang atau barang. Karena pasti aku akan punya beribu alasan untuk tak memberinya, padahal, aku juga ingat, “ingat pesan ibu ya, beramal jangan nunggu banyak uang,” kata ibu angkatku di suatu malam saat tumben-tumbennya aku mengunjunginya setelah entah berapa lama aku tak pernah ke rumahnya.

***
"Jangan lupa aura positip ya bo, senyum dong…", pesan teman yang baru saja aku kenal tapi kami jadi begitu akrab, lewat pesan pendek yang dikirimnya di suatu pagi. Mengingatkan kembali aku. Menyegarkan kembali pikiranku, padahal malam sebelumnya telah ku habiskan berlembar-lembar tisu atas masalah yang tak pernah kubagi pada siapapun. Tidak juga pada teman yang baru saja aku kenal itu. Ia mungkin saja iseng mengirim sms sekedar keep in touch atas kedekatan kami beberapa hari lalu.

Istilah "aura positif" sendiri kami, aku dan dia, dapatkan hasil dari obrol-obrol kami pada makan malam acara perkenalan kami di cipanas beberapa waktu lalu. Semua peserta rata-rata baru kenal saat itu. Dan kau tau, karena tempat menginap peserta dibagi atas dua kelompok, laki-laki dan perempuan, segera saja terbentuk ikatan yang kuat diantara kelompok-kelompok itu. Aku sekamar dengan Emi staf YLBHI, Rani dari ICEL, dan mbak Endang dari PPSW yang baru bergabung keesokan harinya.

Emi, perempuan bertubuh kecil yang ku kira usianya masih dibawahku tapi ternyata telah memiliki anak bersekolah tingkat dasar, dan berselisih usia 3 tahun lebih tua dari aku, memiliki sikap yang matang dan sangat keibuan. Ia banyak bercerita tentang kebajikan-kebajikan hidup yang kadang kami respon dengan guyonan dan sindiran diantara kami. Kami, aku dan rani (yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku), perempuan-perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun.

Dari emi pula kami dapatkan "aura positif" itu. Ia sendiri bercerita istilah itu didapatnya dari guru ngaji anaknya saat mereka saling curhat tentang kehidupan. Masih menurut ceritanya, bila kita berbuat baik sedikit saja maka alam akan menyimpannya dan menyebarkannya pada orang-orang disekitar kita. hingga tanpa pernah kita sadari balasan kebaikan akan kita terima. bahkan mungkin lebih dari yang kita duga. sebaran yang juga diperbantukan alam inilah yang kemudian diistilahkan dengan "aura positif". Tapi bukan emi yang mengirim pesan pendek pagi itu. melainkan perempuan centil dan kadang tak punya sopan santun yang juga masih aku duga berusia lebih muda dari aku yang telah menyegarkan pikiranku pagi itu.

***
Di bagian-bagian awal karya terjemahan terbaru salah satu pengarang favoritku, Paulo Coelho, “Zahir”, yang belum sepenuhnya habis aku baca, ia sempat menyebut istilah “bank budi”. Tampaknya ini juga istilah sindiran bagi sang tokoh (karena sikapnya yang kadang berantakan) dari salah satu temannya. Akan kukutipkan beberapa kalimat untukmu. Berupa percakapan antara sang tokoh dan teman baiknya itu. (Gosh, batapa seriusnya aku hingga aku perlu menulis kembali terjemahan dari buku itu meski tak sepenuhnya kalimat bersedia kuketik untukmu. Beberapa malah mengalami pengeditan sesuai seleraku).

“Istilah itu dikenalkan pertama kali oleh seorang penulis Amerika. Bank budi adalah bank paling kuat di dunia, dan kau bisa menemukannya di setiap aspek kehidupan.”

“….Aku mulai menyimpan direkeningmu bukan simpanan uang tetapi kontak. Kukenalkan kau pada orang ini dan itu, mengatur perjanjian-perjanjian, dan kau tau kau berutang budi padaku, tapi aku tak pernah minta apapun dari mu.”

“Dan suatu hari, aku akan minta tolong padamu dan kau bisa saja mengatakan ‘Tidak’, tapi kau sadari bahwa kau berutang budi padaku. Kau lakukan apa yang ku minta. Aku terus membantumu, dan orang-orang lain melihat kau orang yang tau membalas budi, jadi mereka pun mulai menyimpan direkeningmu –selalu dalam bentuk kontak, karena dunia ini hanya terdiri atas kontak, tidak ada yang lain lagi. Mereka pun pada suatu hari akan minta bantuan padamu, dank au akan menghormati dan membantu orang-orang yang pernah membantumu, dan pada saatnya, jaringanmu akan melebar ke seluruh dunia, kau akan kenal semua orang yang pernah kau kenal, dan pengaruhmu akan tumbuh semakin besar.”

“Aku bisa saja menolak permintaanmu.”

“Tentu saja. Bank budi adalah investasi yang berisiko, sebagaimana bank-bank lain. Kau bisa menolak permintaan bantuanku, karena kau pikir aku membantumu karena kau memang wajib dibantu, karena kau yang terbaik dan semua orang harus mengakui bakatmu. Tidak apa-apa, aku akan mengucapkan terima kasih banyak dan minta tolong pada orang lain yang juga berutang budi padaku, tapi mulai saat itu, semua orang tau, tanpa perlu kuucapkan sepatah katapun, bahwa kau tak bisa dipercaya.”

“Potensimu tidak akan tumbuh maksimal, dan pasti tidak sebesar yang kau inginkan. Pada suatu titik, hidupmu mulai menurun, kau turun separuh jalan, tidak sampai ke dasar. Kau akan setengah bahagia, setengah merana, tidak frustasi tapi juga tidak terpuaskan. Kau tidak panas dan tidak dingin. Hanya suam-suam kuku. Dan seperti kata seorang pengkhotbah dalam buku sucinya: ‘makanan yang suam-suam kuku tidak menimbulkan selera’…”

Kau boleh saja setuju dan tidak (terutama pada kalimat terakhir kutipan sang pengkhotbah itu, karena tentu saja aku pun akan memilih menunggu makanan menjadi suam-suam kuku ketimbang lidahku tersiram kuah panas). Tapi tentu kau tau apa yang ingin kumaksud dalam penggalan-penggalan kalimat yang telah kutulis itu.

Bank budi, aura positif, beramal jangan menunggu sampai kau banyak uang…

(aku tak ingin menjadi pengkhotbah dengan kalimat penutup seperti ini, yang kelihatannya juga anti klimaks, aku hanya tak tau bagimana menutup tulisan ini secara klimaks…)

No comments: