Wednesday, November 29, 2006

Ingin Memenggal Kepala Ayah

Ini judul cerpen yang pernah ditulis temanku. Meski aku tak ingat betul apa isinya dan telah dimuat di media apa. Tapi judul ini seringkali begitu pas dilekatkan pada kebencianku pada ayahku sendiri. Seperti malam itu. Saat aku begitu tak bisa menguasai diri saat aku tau kaligrafi yang telah begitu susah payahnya dibuat adik bungsuku di waktu liburannya dari pondok pesantrennya di jombang dan menghasilkan karya yang lumayan menarik dipandang mata dengan semena-menanya dipotong sesuai kemauannya. Kemarahanku semakin mengkal saat aku tau potongan itu sangat tidak asimetris. Tak mungkin disambungkan lagi karena perlu tambalan disana sini. Sangat mengurangi estetika. Padahal aku telah berniat akan memajangnya di kamar kos ku nanti.

Kau tau apa sangkalannya saat aku meradang tentang hal ini, ia dengan enaknya menjawab, sengaja dipotong karena tak pas dengan ukuran kaca jendela. Gosh, kau tau dimana ia memasang kaligrafi ini setelah sekian lama aku tak pulang? Di kaca jendela depan. Adikku yang lain malah sempet mengejek, "banyak yang ngirain bapak lagi pasang iklan lowongan pekerjaan tuh…."

Sambil menahan marah dan tangis aku sempat berkata padanya, "Pak, jangan melakukan hal-hal semaunya sendiri. Minta pertimbangan orang lain. Orang yang bikin pasti marah kalau tau karyanya dipotong seenaknya kayak gini. Hargai karya orang."

Sudah dapat diduga ia tak akan pernah menerima pendapatku. Pendapat siapapun. Dan aku lah teman bertengkarnya sejati selama ini. Itu sebabnya aku tak pernah betah lama-lama tinggal di rumah. Selalu ada masalah yang akan kami ributkan. Dan aku paling tak tahan dengan sikap dan pandangannya yang sering kali aku anggap aneh. Sangat aneh dan seringkali tak bertanggung jawab.

Kegeramanku saat itu kemali memunculkan memori lamaku saat aku baru saja memenangkan lomba antar sekolah beberapa tahun lalu. saat itu aku mendapat hadiah berupa tabungan. Aku tentu saja senang karena itu akan menjadi bekal bagi cita-citaku untuk melanjutkan kuliah. Aku ingat betul hadiah itu seperti anugerah karena aku tengah berada di tingkat akhir sekolah menengah atas dan aku sangat ingin bisa kuliah. Kau perlu tau betapa morat-maritnya kehidupan keluarga kami saat itu (yang sedikit mengalami perubahan saat ini) sehingga sekolah menjadi hal yang luar biasa buat kami. Kakakku sampai harus putus sekolah. Akulah anak pertama di keluargaku yang punya semangat begitu kuat untuk tetap bisa sekolah hingga harus berjualan koran bekas. Aku pula anak pertama yang berhasil mencecap pendidikan begitu tinggi yang tak semuanya diwariskan adik-adikku yang lain. Aku sering kali merasa rapuh mengingat hal ini. Semangatku untuk tetap bisa sekolah seringkali harus aku bayar mahal. Termasuk saat aku tau tabungan hadiah lombaku sebelumnya telah raib diambil ayahku sendiri. Untuk modal usaha katanya. Dan aku tak pernah tau usaha apa. Yang aku tau semua usahanya tak pernah ada yang sukses. Hingga rumah kami satu persatu tergadai dan kami harus berpindah tempat tinggal dari satu rumah kontrakkan ke rumah kontrakkan yang lain hingga kini. Menyisakan kesusahan pada ibuku yang harus meminjam uang ke sana kemari demi kelangsungan hidup kami. Termasuk bekal awal kuliahku yang telah raib dicuri.

Aku akan dengan mudah menunjuk siapa biang keladi kesusahan ini. Tentu saja ayahku yang menurutku tak pernah bertanggung jawab atas kelengsungan hidup keluarganya. Aku pernah menggugat pada ibuku kenapa begitu setia padanya dan melayani semua kebutuhan-kebutuhannya meski kami semua telah memiliki krisis kepercayaan padanya. Aku tak ingat betul apa jawabnya. Tapi satu hal yang mungkin patut dibanggakan dari ayahku ialah ia laki-laki yang setia. Menurut ibuku ia tak pernah kedapatan selingkuh dengan siapapun meski ia punya bakat untuk itu. Konon, kakek dari ayahku adalah "don juan" sejati. Istrinya ada dimana-mana. Ayahku termasuk salah satu anak entah dari istri yang ke berapa yang ditinggal begitu saja sampai akhirnya nenekku memutuskan untuk menikah lagi dengan orang lain. Mungkin kepahitan hidup menjadi anak tiri telah membuatnya kukuh untuk setia pada keluarga nanti.

Tapi apa yang dilakukannya kemudian? Ia mungkin saja setia, dan kami boleh bangga atas hal itu, namun aku tetap akan menilai ia kepala keluarga yang tak punya cukup tanggung jawab untuk menyejahterakan keluarganya. Ia hanya pandai memproduksi anak yang akan dilahirkan ibuku setiap dua tahun sekali dan total menghasilkan 8 anak, minus kakak keduaku yang mati saat masih bayi. Tapi seringkali tak ambil peduli pada masalah anak-anaknya. Membuat aku seringkali menggugat, hey, engkaulah penyebab aku lahir di bumi ini. Mengapa kau jadikan aku dulu?

Kebencianku pernah sampai terbawa dalam alam bawah sadarku dan aku pernah bermimpi memenggal kepalanya yang ku kira kepala seekor ayam jantan. Mimpi horror. Membuat aku ketakutan sendiri. Mimpi yang telah lama sekali. Mimpi itu terjadi jauh sebelum aku kenal temanku yang kemudian menulis judul cerpen yang persis sama dengan mimpiku dulu. Dan aku tak pernah mencerikan mimpiku kepada siapapun. Tidak juga pada ucu temanku yang cerpenis itu. Bila ia tiba-tiba mempuntai inspirasi yang sama, mudah diduga kau akan tau jawabannya, itu hanya kebetulan semata….

No comments: