Friday, May 29, 2009

Bude

Dia sudah pergi, Mas. Aku tak sempat menyaksikannya. Ada ibu yang menemani. Sama seperti kepergianmu yang hanya ku tahu lewat kabar yang disampaikan ibu padaku.

Semoga kalian bertemu dan bahagia bersama. Ini kan yang kalian inginkan juga? Keinginan orang-orang lainnya juga. Termasuk aku.

Kau tau sejak kepergianmu ia bagai sebatang pohon tanpa akar. Hidupnya kosong. Sebenarnya tak hanya ia. Aku pun begitu. Kau tahu aku mulai merasakan hal-hal aneh sejak kita menjadi lebih dekat lebih dari biasa. Tiba-tiba aku jadi mengangenkanmu. Selalu menanti dengan cemas saat-saat bisa bersama denganmu. Ku rasa ibu mulai mencium gelagat ini. Menasehatiku untuk mencoba rasional. Bahwa kita masih kerabat dekat.

Tiba-tiba kau pergi tanpa pamit. Aku tau kau sedang marah dan butuh waktu untuk sendiri. Namun sampai saat ini pun aku tak pernah bisa mengerti. Terkadang bahkan menyesali. Mengapa jalan seperti itu yang kau pilih. Bergabung dengan kelompok yang kau bilang sanggup mengisi kekosongan batin mu.

Kau tak pernah mendiskusikannya padaku. Hingga tak sempat aku cegah keinginan ganjilmu itu. Terus terang aku tak suka dengan kelompok yang kau bangga-bangga kan itu. Tapi aku tak sempat mencegahnya. Sampai kau kembali dengan tubuh kaku. Dan mereka mengatakan kau telah mati syahid.

***
Aku tak terlalu sering mengunjunginya, Mas. Aku banyak bepergian. Sejak kepergianmu ku coba untuk mengisi hidupku dengan beragam aktifitas. Aku tak ingin terus memikirkan mu. Menyesalkanmu.

Terakhir aku mengunjunginya saat lebaran lalu. Ia makin kurus. “Rambut ku rontok tak karuan,” katanya sambil merapikan tutup kepala. Berulang kali ia masuk rumah sakit. Dengan sakit yang tak jelas. “Sakit batin,” kata ibu.

Aku hanya bisa menangis dalam hati. Airmataku telah habis saat menangisi tanah basah yang menyimpan tubuh kakumu.

Aku tak pernah bisa membayangkan rasa hampa yang harus dijalaninya. Kau lah harapan satu-satunya. Laki-laki kebanggaannya. Setelah laki-laki pendamping hidupnya mengkhianatinya sekian lama. Menghasilkan seorang anak laki-laki yang usianya tak jauh terpaut dengan mu.

Aku tau kau pun begitu menyayanginya. Kau tau sampai saat ini pun aku tak sanggup berdiam lama berada di kamar mu. Kamar yang penuh dengan coretan kemarahanmu pada laki-laki busuk yang dengan teganya menculasi kalian. Laki-laki yang darahnya mengalir pada tubuhmu.

Ya, coretan-coretan mu masih ada, Mas. Bude tak ingin menghapusnya. Beberapa larik puitis yang mengungkapkan kasih sayang, rasa hormat sekaligus bangga mu pada satu-satunya perempuan yang telah melahirkan mu bercampur baur dengan umpatan kemarahan pada laki-laki durjana itu.

***
“Coba aku di foto. Masih ayu nggak,” itu permintaan yang aku ingat dari kunjungan terakhir ku. Ia merapikan rambut tipisnya.

“Aku wis kayak wong mati,” katanya saat aku perlihatkan hasil foto pada layar kamera. Aku tak membalas perkataannya.

Ia terbukti perempuan yang tangguh. Ia mampu menghadapi rasa hampa dalam hidupnya bertahun-tahun setelah kepergian mu, Mas. Setia pada rumah yang sebentar lagi mungkin akan diambil perempuan lain yang telah menghancurkan hidup kalian.

Tak seperti aku yang terus berusaha lari dari kenangan yang pernah kita lalui, Mas. Meski ia juga harus mengaku kalah pada beberapa penyakit yang tiba-tiba saja menjadi bagian dari hidupnya.

“Nduk, Bude masuk rumah sakit lagi. Pulanglah. Sempatkan untuk menjenguknya,” layang ibu pada pesan pendek yang masuk pada teleponku.

Aku tak mengiyakan permintaannya. Aku tak sanggup melihat tubuh rentanya, Mas. Tak mampu lagi menumpahkan airmata untuk kalian.

Kucari-cari alasan bahwa aku tak bisa pulang. Aku tak tahu apakah ibu bisa mengerti dengan alasan ku. “Kalau tak bisa pulang tak apa. Tolong bacakan Yasin untuk Bude mu.” Hanya itu balasan ibu atas alasan ku.

Apakah kau bisa mengerti, Mas? Aku tak ingin kembali rapuh dengan mengingat kalian. Aku percaya kalian telah berkumpul kembali saat ini. Merasakan kebahagiaan abadi setelah sempat dihempaskan alam fana ini.

Jakarta, akhir Oktober 2008
Untuk Bude Temok dan Mas Totok dalam kehidupan yang abadi

No comments: